16 - Warm Heart

276 27 2
                                    

Ardana tiba di posko pukul setengah tujuh malam. Dengan langkah tertatih cowok itu membuka pintu belakang posko yang sunyi, karena sudah pasti semua anggota kelompoknya sudah berkumpul di masjid.

Ardana memilih duduk sebentar di dapur, lalu melihat punggung tangannya, dan mengusap-usapnya. Kemudian Ardana meringis ketika mencoba untuk menekan bagian punggung tangan yang terasa nyeri.

"Kayanya bengkak, deh," gumam Ardana seraya membandingkan kedua punggung tangannya. Dan betul saja, punggung tangan sebelah kiri nampak lebih besar dari pada yang kanan. "Ssshhh." Ardana kembali meringis.

Zuney muncul dari arah kamarnya. Lalu mendekat pada Ardana. "Yaampun, Na, lo kenapa?" tanya Zuney seraya merebut punggung tangan Ardana.

"Lo nggak ikut ke masjid, Ney?" Bukannya menjawab pertanyaan Zuney, Ardana malah melontarkan pertanyaan lain.

"Gue lagi red day. Lo kenapa? Lo jatuh dari motor?" tanya Zuney lagi. "Yaampun kening lo sobek, Na. Berdarah itu." Zuney meringis sendiri ketika melihat luka Ardana.

"Masa, sih?" Ardana mencoba untuk menyentuh keningnya, dan benar saja ada noda darah yang kini membekas di tangannya. "Aduh, sakit, Ney."

"Aduuuh, bentar-bentar, gue ambil kapas sama air anget dulu." Zuney segera bangkit dan mencari kotak P3K. Setelah beberapa saat, Zuney sudah kembali dengan sebuah mangkuk dan kotak P3K di tangannya. "Lo kenapa bisa gini, Na? Lo tabrakan apa gimana?"

Ardana hanya mengangguk, lalu membiarkan Zuney untuk mengobati lukanya. "Ney, gue takut."

Zuney yang sedang membersihkan luka di kening Ardana pun mengerutkan dahi. "Takut kenapa?"

"Takut dimarahin Mas Una. Motor gue ringsek, Ney," ucap Ardana dengan nada sendu. "Gue ngerasa bersalah karena gak dengerin omongan Mas Una." Ardana menunduk, lalu menepis air mata yang turun dari pelupuk matanya.

"Ya ini memang lo yang salah, Na. Tadi pas sebelum ke masjid, Juna tuh nanyain lo mulu, dia keliatan khawatir banget pas tau lo belum di posko pas adzan magrib," papar Zuney seraya melihat punggung tangan Ardana. "Bengkak ini, Na. Gue oles gel dulu." Zuney lalu membuka kotak P3K dan meraih gel pereda bengkak. "Badan lo ada yang sakit, nggak? Harus diurut sih, ini."

Ardana menggeleng. "Nggak. Gue nggak sakit, cuma perih aja bagian lutut, kayanya lutut gue luka deh, Ney."

"Yaudah lo ganti dulu pake kolor, biar gampang obatinnya. Sekalian shalat magrib dulu, nanti waktunya keburu abis," titah Zuney, "gue siapin sajadah sama sarungnya, lo ambil wudhu aja dulu."

Ardana menuruti perintah Zuney. Setelah keluar dari kamar mandi, Ardana melangkah ke ruang tengah, di sana sudah ada sajadah yang terbentang dan sarung miliknya. "Ney, lutut gue, liat." Ardana menunjukkan lututnya, karena cowok itu sudah mengganti celana panjangnya dengan kolor pendek selutut.

"Ssshh." Zuney meringis melihat kondisi lutut Ardana yang sudah baret-baret. "Lo shalatnya sambil duduk aja, Na. Gapapa, kok."

Lagi-lagi Ardana menuruti perintah Zuney. Ardana melakukan sembahyang, lalu setelah selesai, Ardana melihat ponselnya yang menyala-nyala, ada panggilan dari Bundanya. Namun, untuk kali ini saja, Ardana rasanya tidak ingin mendengar suara Bunda. Ardana takut akan menangis jika mendengar suara Bunda. Ardana tidak ingin membuat Bundanya khawatir dengan keadaannya. Ardana merasa sangat bersalah pada Bunda karena tidak bisa menjaga dirinya sendiri.

"Ney..." panggil Ardana.

"Iya?" Zuney yang sedang ada di dapur itu mendekat ke ruang tengah. "Kenapa, Na? Lo butuh sesuatu?"

"Tolong ambilin obat merah, dong. Jangan alkohol, ya."

Zuney meraih kotak P3K yang berada di dapur. "Sini biar gue yang obatin," kata Zuney.

Mel(ingkar) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang