Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi, terlihat Arjuna nampak mengepak ranselnya. Lalu pemuda itu kembali melihat list perlengkapan. "Apa lagi, ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Ardana membuka pintu kamar Arjuna. "Mas, udah? Kata Bunda sarapan dulu."
"Lo udah, Dek? Gue takut ada yang ketinggalan." Arjuna terlihat kebingungan.
Ardana mendekat. Lalu membuka ransel kakaknya. "Sikat gigi udah, boxer, sarung, sajadah, sweater." Ardana kini memandang Arjuna.
"Kenapa?"
"Mas, ini kenapa ditaro di tas, sih? Terus yang di koper isinya apa?"
"Ya baju, jaket, sendal, sepatu, jas hujan, payung, selimut," jawab Arjuna.
"Yaudah, ini udah super lengkap. Turun, yuk, Ayah sama Bunda udah nunggu," ajak Ardana.
Arjuna mengangguk, lalu berjalan keluar kamar dan diikuti oleh Ardana.
Sesampainya di meja makan, Ardana menarik kursi di dekat Bunda. Sementara Arjuna menarik kursi di dekat Ayah.
"Mas udah disiapin semuanya?" tanya Bunda seraya menaruh ayam goreng di atas piring Arjuna.
"Makasih, Bun. Udah kok."
"Adek gimana? Udah juga? Jangan sampai ada yang kelupaan, Dek. Adek mah pelupa soalnya." Bunda juga menaruh sayur di piring kedua anaknya.
Ardana terkekeh. "Udah, Bun. Kalau Adek ada yang lupa bisa pake punya Mas Una, kan."
Arjuna hanya mendelikkan mata.
"Ingat, lho, harus akur, ya. Jangan berantem di sana," pesan Ayah. "Mas Una vitaminnya jangan lupa di bawa, jangan cape-cape."
"Iya, Yah," jawab Arjuna seraya menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
"Tenang, Yah. Ada Adek yang jagain Mas Una," kata Ardana seraya mengelus lembut kepala kakaknya.
Arjuna segera menepis tangan Ardana. "Adek, ih. Emangnya Mas bayi?"
Ayah dan Bunda tertawa. Lalu Bunda mengelus kepala Ardana. "Anak baik, jagain Masnya, ya, dek. Mas Una juga, jagain adeknya, ya." Bunda tersenyum pada kedua anaknya. "Eh, mau nelepon Kakak Nay dulu nggak, nih?"
"Gak usah, Bun." jawab Arjuna. "Semalem MAs udah video call."
Ayah tersenyum. "Ada yang curi start nih, Adek udah hubungi Kakak Nay?"
Ardana mengangguk. "Aku udah chatt kok, Yah."
"Dek, jadi bawa motor?" tanya Bunda pada Ardana.
"Jadi, kenapa emangnya, Bun?"
"Berarti sekarang berangkatnya langsung pake motor, ya? Bunda gak bisa anter, dong?"
Ardana mengangguk. "Kalau Adek nggak usah dianter kok, Bun. Tapi gatau tuh Mas Una."
Ayah tertawa. "Mas Una mau dianter sama Ayah atau sama Bunda?"
Arjuna merengut. "Nggak usah, Yah. Mas bareng Adek aja."
Bunda tersenyum. "Yaampun Mas Una udah gede ya, Yah? Dulu waktu pertama sekolah, Bunda sampe gak boleh pulang, lho."
"Bunda...." Arjuna memohon agar Bundanya tidak mengulang cerita itu.
Bunda tertawa. "Yaudah, Bunda titip aja ke kalian berdua, jangan sampe telat makan, jangan kebanyakan makan mie, terutama Adek nih." Bunda mencubit pipi Ardana. "Inget, jangan mentang-mentang Bunda gak liat, jangan makan sembarangan."
Ardana mengangguk dan tersenyum. "Siap Bundaku."
"Mas, kalau Adek makan mie terus kasih tau Bunda sama Ayah, ya?" pinta Bunda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mel(ingkar) ✔
Fiksi RemajaIni kisah tentang sepuluh orang yang mempunyai kebiasaan duduk melingkar, memecahkan berbagai masalah, dan menabung kenangan masa muda. Berikrar akan selalu berteman selamanya dan berharap tidak ada satu kata yang mampu mengubah lingkaran itu hanya...