Hal pertama yang tak menyenangkan menjadi filsuf adalah, kamu mengetahui terlalu banyak hal. Pikiranmu terlalu jauh mengelana dari semua orang yang kamu kenal di masamu hidup. Kamu melihat inti keseharian dunia jauh lebih jelas. Dan yang paling tak menyenangkan, jika itu bergabung dengan psikologi sebagai pandangan harian. Mengamati dan memandang kejiwaan dan perilaku orang-orang. Maka, inti dari manusia atau umat manusia itu sendiri, terlalu transparan. Lalu apa yang tersisa? Yang tersisa hanya hiburan setiap hari yang terus berubah. Yang sebenarnya hanya sekedar untuk memperpanjang hidup saja.
Saat kamu menjadi nihilis...
Kamu akan menjadi bosan saat melihat orang tak bisa jujur setiap hari. Kamu bisa melihat orang berpura-pura dengan jelas. Kamu akan bisa melihat kepura-puraan intelektual dan kesenian. Kamu bisa malas melihat orang yang merasa dirinya baik tapi tak sejalan dengan kehidupan sehari-harinya. Kamu bisa melihat orang beragama dan berkemanusiaan yang rusak dengan jelas di depan matamu tapi mereka tak pernah merasa menjadi manusia yang buruk. Kamu bisa melihat kepura-puraan pertemanan dalam lingkup apa saja. Kamu bisa melihat kebohongan intelektual dan kesusastraan dengan perasaan jijik.
Dan semua itu bisa menjadi beban hubungan sosial dan mental.
Bayangkan, melihat ratusan juta manusia di sekitarmu yang setiap hari berpura-pura hidup. Berlomba-lomba terlihat bahagia tapi tidak sama sekali. Menganggap diri orang bijak tapi kesehariannya brengsek. Melihat para intelektual yang merasa dirinya tinggi dan hebat ternyata jauh lebih tidak bijaksana dan sombong. Melihat para orang tua muda segenerasiku yang mencekoki anak-anaknya dengan khayalan akan hidup dan kebohongan-kebohongan dunia.
Melihat orang-orang kaya yang tak bahagia. Orang-orang miskin yang terlalu sering mengeluh. Melihat orang-orang yang mengutuki orang lain dengan mudahnya di media sosial tapi tak pernah mengutuki orang tuanya sendiri atau bosnya di tempat kerja. Melihat buku-buku yang sudah sangat jelas memberi banyak contoh kehidupan tapi tak pernah dijalankan. Menyaksikan begitu banyak orang yang lebih menyukai kebodohannya yang aman. Dan berbagai macam kepura-puraan yang setiap hari begitu sangat jelas dan membosankan.
Dalam dunia semacam itu, perasaan muak akan naik. Bertahun-tahun lamanya melihat manusia, kamu akan melihat ulangan paling membosankan dari sejarah kehidupan. Dan itu, diteruskan oleh generasi-generasi baru.
Jika sudah semacam itu, bertahan hidup menjadi nihilis di tengah orang gila yang merasa dirinya normal. Dan orang-orang buruk yang merasa dirinya baik. Benar-benar tak mudah. Pada akhirnya, harus ikut lebur dalam kepura-puraan bersama agar bisa hidup bertetangga dan masih bisa terus membiayai diri.
Jika seorang filsuf bisa hidup sendirian dan tak digerogoti oleh penyakit kejiwaan. Ia bisa lebih menikmati kehidupannya dengan tidak banyak peduli dengan apa pun. Apalagi dengan hubungan-hubungan sosial. Tapi bagi para filsuf yang perasaannya sudah rusak dan butuh banyak orang lain untuk bertahan hidup. Masa depan menjadi jauh lebih rumit. Akan terlalu banyak dilema-dilema. Ketidakmandirian emosional bisa membuat sang filsuf begitu tersiksa hidup di dunia ini. Kecuali kematian.
Kecuali ia mengambil kematian.
Bertahan hidup sebagai nihilis di tengah kepura-puraan masal. Benar-benar sangat sulit. Menjadi muak dan bosan. Pada akhirnya, keengganan untuk mati menjadi penyakit tersendiri bagi si nihilis.
Ia akan menderita sebuah penyakit yang bernama kehidupan. Dengan gejala paling besar yaitu kebosanan. Gejala yang begitu mengerikan dan sangat tak menyenangkan.
Entah sampai kapan ia akan mampu bertahan dan tetap melanjutkan kehidupannya. Atau mati lebih muda dari kebanyakan orang. Mengakhiri semua yang ia pikirkan dan segala jenis dilema yang akhirny tak perlu lagi dipedulikan.
![](https://img.wattpad.com/cover/206339626-288-k49721.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU, NIHILIS
Non-Fictionapa jadinya, jika hampir semua orang lebih memilih menghindari menyelesaikan persoalan utama kehidupan dan lebih memilih hidup tenang dan kepura-puraan yang disepakati? lalu, kapan akan ada akhir? kapan ulangan akan berhenti?