Kehidupan yang berharga dan patut dipertahankan, telah menjadi mitos dan moralitas khayalan yang diajarkan dari abad ke abad. Seolah, sesosok Socrates bagaikan keberadaan yang tak penting di dunia ini.
Nietzsche benar saat ia mengkritik suasana muram dari akhir hidup sang filsuf tua itu. Tapi nihilisme Nietzschean juga berakhir di situ. Tak bergerak kemana-mana.
Nietzsche mencoba memulihkan kehidupan dalam filsafat masa depannya yang penuh rasa sakit. Dalam salah satu gagasan pentingnya, bahkan ia rela untuk mengulangi kehidupan itu sendiri.
Nihilisme yang seharusnya menjadi jalan keluar terhadap ketergantungan alam semesta ini terhadap kehidupan. Berhenti di tangan filsuf nihilis terbesar itu. Menjadi sekedar ledakan-ledakan kecil di tangan para anarkis dan kematian massal di bawah kediktatoran atau bahkan yang mengatasnamakan rakyat.
Semenjak Socrates menuangkan racun ke dalam mulutnya. Para pemikir besar masih saja tak mau mengakui tindakan terbesar dalam sejarah itu. Kenyataan pahit bahwa kehidupan adalah penyakit. Dan cara untuk menyembuhkannya hanyalah kematian.
Saat para pemikir besar yang tercerahkan enggan mengakui. Mereka yang disebut orang kebanyakan, menjadikan kehidupan sebagai Tuhan baru mereka. Menggantikan Tuhan yang telah mati dan tercabik-cabik.
Tuhan lama nyaris tak dianggap ada kecuali sekedar di bibir dan ritual-ritual yang sangat bertentangan dengan kehidupan keseharian. Tuhan lama dipakai untuk menopang Tuhan baru yang lebih besar dan dipuja secara massal. Baik oleh para ateis dan teis. Tuhan ini, diucapkan dengan begitu mudahnya untuk menyediakan alibi terbesar dalam sejarah filsafat modern.
Yaitu, alibi bertahan hidup.
Dari para rakyat kecil, pembunuh berantai, pencuri, ilmuwan, cendikiawan, orang miskin atau kaya, kaum intelektual, kaum militer hingga orang-orang di pemerintahan. Semuanya begitu mudahnya beralibi mengenai bertahan hidup.
Saat kehidupan telah naik status menjadi Tuhan dan sangat disucikan. Maka alibi bertahan hidup diperlukan, walau itu harus membunuh orang lain atau menderita berkepanjangan.
Kehidupan yang begitu suci membuat kematian terlihat kotor dan harus dijauhi. Maka yang harus dilakukan, dengan alasan apa pun, hampir semua orang akan beralibi untuk bertahan hidup dengan berbagai macam cara dan alasan.
Alibi bertahan hidup telah masuk ke berbagai ranah kehidupan dan keilmuan. Kehidupan sebagai Tuhan sejatinya sudah ada sejak dahulu kala. Hanya saja banyak orang belum menyadari hingga saat masa kita ini. Ketika gagasan, ide, kenyataan, utopia, agama, moral, buku, dan apa pun yang ditulis, tak lain bukan hanya ulangan dan ulangan.
Sekedar kepanjangan dari proses bertahannya hidup manusia.
Darwinisme yang mendorong besar-besaran ateisme. Menjadikan keinginan untuk hidup dan terus berbiak sebagai landasan paling penting bagi evolusi. Seolah-olah, darwinisme dan seluruh orang hebat di dalamnya, tak mau mengakui ada yang salah dalam gagasan terbesar mereka yang coba dipertahankan itu. Jika kehidupan terus berevolusi. Kapan segala kehidupan akan berakhir?
Kepunahan massal hanya sekedar selingan dari kemunculan spesies yang baru dan makhluk kuat yang mampu bertahan hidup. Kematian-kematian hanyalah pengantar bagi kehidupan berikutnya yang lebih baru. Dan, sialnya, akan terus seperti itu sampai entah kapan.
Alibi bertahan hidup sudah terlanjur merasuk kuat di dalam ilmu pengetahuan paling berpengaruh dan menjalar ke berbagai bidang keilmuan lainnya. Menjadi bagian dari proses evolusi, proses kebangkitan kesadaran dan moralitas, dan berbagai macam nilai dan agama-agama.
Dalam masyarakat beragama, kehidupan ditinggikan dan disucikan begitu besarnya dengan cara yang agak mengerikan. Kehidupan dipertahankan dengan sedemikian kerasnya demi melahirkan kehidupan berikutnya dan berikutnya.
Agama mendorong kehidupan yang terulang nyaris tiada henti. Yang kelak akan menghancurkan proses kematian itu sendiri. Di dalam agama, tak ada namanya kematian. Yang ada hanya jeda. Semua orang tak akan mati. Roh mereka akan selalu ada dan kelak mereka akan hidup kembali di sebuah dunia yang baru.
Dalam dunia paralel yang didukung oleh banyaknya agama di dunia ini. Kematian nyaris tak memiliki tempat. Banyak orang memilih kematian untuk bisa dilahirkan kembali. Yang seharusnya, dalam agama-agama, kata kematian itu sendiri bisa dihapus dan tak lagi memiliki wadah untuk menampungnya.
Dalam kegagalan dan kecerobohan terbesar para filsuf, ilmuwan dan pemikir itulah. Alibi bertahan hidup kini menyebar di antara orang awam dan kebanyakan. Menjadi sangat populer dan dipuja sebagai alibi paling kuat dan mudah digunakan untuk mendukung hampir segala sesuatu.
Alibi kehidupan adalah kata lain dari pemujaan akan Tuhan Kehidupan itu sendiri. Dan dalam pemujaan serta keserakahan akan kehidupan itu. Filsafat dan sains yang mendukung kematian secara keseluruhan segala jenis kehidupan tak pernah muncul ke permukaan dalam artian luas dan menjadi landasan yang begitu penting akan ulangan yang tak mampu diselesaikan oleh siapa pun.
Alibi bertahan hidup sejujurnya telah membuat malu segenap cabang ilmu yang ada. Itu juga membuat malu manusia itu sendiri yang selama ini berdelusi dan membangun kebohongan besar di antara buku-buku dan segenap ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan telah menjadi alibi bertahan hidup yang paling memalukan dalam sejarah filsafat manusia. Dan selama buku-buku masih dibaca, diwariskan ke media yang lebih baru yang kelak memuat nilai-nilai yang sama. Maka, lebih baik seluruh pemikir besar berhenti berpikir dan tak lagi menciptakan apa pun.
Saat tak ada satu orang pun yang ingin mengakhiri segala sesuatu dan seluruh kehidupan yang ada. Dunia ini tak lebih dari pada panggung sandiwara. Sayangnya, kita hanyalah aktor paling buruk yang berusaha menolak kenyataan dan hidup dalam drama dan ilusi-ilusi.
![](https://img.wattpad.com/cover/206339626-288-k49721.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU, NIHILIS
Nonfiksiapa jadinya, jika hampir semua orang lebih memilih menghindari menyelesaikan persoalan utama kehidupan dan lebih memilih hidup tenang dan kepura-puraan yang disepakati? lalu, kapan akan ada akhir? kapan ulangan akan berhenti?