MENINGGALKAN JOGJA: SAAT KOTA INI TAK BISA LAGI MENGHIBURKU

35 1 0
                                    

Kota ini,
Membenciku

Begitu juga diriku

Kebosanan dan
Akhirnya,
Rasa yang mati

Aku berada di tempat seperti biasanya. Di ruang yang sangat aku kenal. Begitu juga dengan orang-orangnya. Di tanganku, ada sebuah buku yang baru hari ini aku buka dan baca setelah dua tahun menyimpannya di rak yang berdebu. Kosmos: Aneka Ragam Dunia milik Ann Druyan. Istri dari ilmuwan terkenal, yaitu Carl Sagan.

Sementara buku Sagan yang lebih terkenal, memiliki judul yang sama, Kosmos, hanya aku baca sedikit. Aku lebih menyukai buku ini. Lebih lembut dan puitis. Terlebih, ada banyak sekali gambar-gambar indah mengenai alam semesta dan apa-apa saja yang terlibat di dalamnya.

Hari ini, setelah mengalami kebosanan yang sangat mengerikan sewaktu di rumah. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa waktuku di Jogja sudahlah habis. Tak ada lagi yang membuatku bisa menikmati kota ini.

Aku sudah selesai dengan buku-buku. Dengan berbagai galeri seni dan dunia kesenian. Dengan sastra dan pemikiran. Dengan budaya dan kegaduhan politik yang menyertainya. Dengan tempat-tempat yang hanya nikmat sesekali saja. Dengan kafe-kafe yang menjajah setiap jengkal tanahnya. Dan tentu saja, dengan diriku sendiri.

Kota ini sudah tak lagi bisa memikatku. Semuanya sudah selesai. Hanya ada kebosanan panjang yang mengerikan jika aku terus berada di dalamnya. Aku pun memutuskan bersiap meninggalkan semuanya jika aku mampu. Walau aku masih mencoba berpikir, apakah aku masih harus bertahan satu tahun lagi di sini?

Aku rasa tidak. Harusnya aku sudah meninggalkan kota ini dua tahun yang lalu. Saat aku mencoba dan berharap pada Bali. Pulau para dewa itu, ternyata hanya salinan kecil dari Jogja yang sama membosankannya. Pikiranku yang harus dipuaskan dan dibebaskan secara liar. Menolak berada di sana. Dan pada akhirnya, begitu juga di sini.

Mungkin aku harus mundur sejenak. Lalu melihat pada Ibu Kota yang sebentar lagi menghilang. Pada Jakarta. Tempat kacau di mana banyak teman-teman masa laluku berada di sana dan nyaman dalam sengkarut lingkaran politik dan kekuasaan.

Jika percobaan itu pun nantinya gagal. Aku tak tahu harus melakukan apa lagi. Mungkin, menjadi petani? Tidur setiap hari sambil berdagang atau menjalankan bisnis kecil-kecil dan menerapkan hidup yang lebih biasa. Atau, mundur sejenak dari seluruh dunia yang aku kenal. Tapi sayangnya, pikiranku dan cara aku melihat dunia, terlalu terikat dengan kota dan kafe-kafe yang ada di dalamnya.

Setiap hari, aku berada di cafe ini. Berada di pertigaan Jalan Sagan yang terlalu sering aku lalui. Melewatkan hari-hari membosankan yang aku kenal di dalamnya. Mencoba bertahan dari betapa membosankannya dan memuakkannya kehidupan yang aku jalani.

Tapi sekarang, cafe ini, yang menemaniku beberapa tahun terakhir. Tak lagi benar-benar bisa menghiburku. Kafe ini pun sudah habis. Waktunya sudah berakhir.

Tak mudah untuk bisa mendapatkan kafe yang cocok dan tepat untuk kepribadianku yang rumit dan susah dipuaskan. Di suatu kota tertentu. Mungkin hanya satu-dua kafe yang cocok untukku setelah percobaan keluar masuk di beragam kota. Jika ada ribuan kafe di dalam kota yang aku masuki. Yang bisa aku nikmati dan merasa nyaman di dalamnya, tak pernah banyak.

Setelah kafe ini tak lagi bisa aku nikmati. Begitu juga dengan kota ini. Waktunya untuk berpisah pada kota yang menghidupiku. Kota yang membuatku terjatuh dalam kebosanan selama bertahun-tahun. Yang aku pertahankan demi diriku yang entah dan tak pernah jelas.

Apa yang tersisa dari Jogja kecuali sekadar bekerja, mencari uang, melambatkan waktu, dan menekan pikiran-pikiran liarku?

Kota ini hanya cocok untuk orang-orang yang sekadar lewat atau mereka yang pikirannya mati. Mereka yang lelah terhadap dunia dan ingin bersantai dalam kesenangan yang lamban dan penuh dengan keceriaan halus kebohongan diri.

Setidaknya, di kota ini, aku masih bisa mempertahankan nyawaku dengan kewarasan yang terkadang, sesekali meledak. Kota ini menyelamatkanku dari kematian karena dunianya yang begitu lambat dan sedikit tekanan. Tapi kota ini juga semakin lama, sedikit demi sedikit, menghancurkan-ku dari dalam.

Mungkin, pada akhirnya, duniaku adalah pelarian dan perpindahan yang terus-menerus dari seorang laki-laki yang telah begitu lama terjerumus dalam jurang kebosanan yang begitu dalam. Yang gagal beradaptasi dengan lingkungan dan tak lagi tertarik dengan orang-orang. Hingga pada suatu waktu tertentu, pada keadaan dan perasaan yang tepat. Pada titik di mana aku sudah tak lagi bisa menahannya. Aku berkata cukup terhadap kota ini.

Aku berhenti. Aku ingin keluar. Aku tak ingin lagi di dalamnya dan terlibat dengan semua hal yang ada di sekitarnya.

Aku harus meninggalkan Jogja. Sebuah kota yang begitu sangat membosankan untuk dijalani.

AKU, NIHILISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang