MEMELIHARA KEMISKINAN

77 3 1
                                    

Kemiskinan menghasilkan segala sesuatu yang murah. Dan kita semua sangat menyukainya. Biarkan mereka tetap miskin. Dengan begitu, kita bisa membeli apa saja yang terjangkau dan bersenang-senang dengan penghasilan kita.

Keberadaan orang-orang miskin itu sangat penting bagi orang munafik semacam kita. Terlebih, bagi mereka yang juga miskin dan mereka yang hidup lewat kemiskinan orang lain.

Tanpa orang miskin, kita semua pasti bersedih. Betapa mahalnya segala sesuatu! Dan bagaimana orang-orang miskin akan membeli beras dan air, jika bahan makanan begitu mahal?

Orang miskin pun membutuhkan orang miskin lainnya, agar mereka bisa tetap makan dan hidup.

Yah, inilah dunia yang jarang kita bicarakan. Jarang kita diskusikan. Apalagi, kita semua yang berkepentingan dengan orang-orang miskin agar hidup sedikit lebih nyaman dan berbahagia.

Kebahagiaan pun butuh kemiskinan orang lain, bukan?

Beberapa orang kadang berceloteh bahwa dunia ini tidak adil. Ya, memang. Dunia ini sangat tidak adil. Karena dalam ketidakadilan itulah, kita bisa sedikit hidup nyaman dan enak.

Kita semua menikmati ketidakadilan itu dan tak ingin berbuat sesuatu terhadapnya. Karena apa?

Bayangkanlah, jika demi kebaikan bersama, sikap adil dan kebenaran kita. Kita semua menuntut gaji para buruh, pekerja cafe, karyawan dan sebagainya, dinaikan atau setidaknya, mendapatkan gaji yang sejahtera. Kita ingin para petani hidup makmur dan kaya. Kita juga berharap, para nelayan menjadi sukses dan hidup enak.

Masalah terbesarnya, apakah kita mau membayar segala sesuatu yang harganya naik secara besar-besaran? Apakah kita, mau segala yang kita bayarkan dengan murah, menjadi mahal dan tak lagi terjangkau?

Bagi orang miskin, itu akan sangat menyakitkan. Atau sama saja membunuh mereka. Bagi para pemalas dan parasit rumah tangga, itu jelas sekali horor. Bagi mereka yang tak banyak keahlian, segala yang mahal bisa membuat mereka gila.

Dan bagi yang berceloteh soal ketidakadilan, simpati dan empati tanpa sadar diri, dan perasaan terenyuh tanpa isi kepala. Pada akhirnya, mereka sendiri yang terkena imbasnya. Siapkah mereka, selain dipotong pajak gaji. Juga pajak, keadilan sosial?

Dari sekian jumlah penghasilan kita. Sebagiannya untuk negara. Dan beberapa bagiannya kita berikan untuk mensejahterakan para pekerja. Lalu ada sisa penghasilan untuk diri kita sendiri. Apakah kita akan senang, jika penghasilan kita berkurang banyak untuk membantu meningkatkan kesejahteraan orang lain?

Aku yakin sekali. Kita semua tidak senang dengan hal itu. Kita akan senang jika orang lainlah yang terkena dampaknya. Bukan kita. Kita mencelotehkan ketidakadilan, tapi kita tidak mau melakukannya. Berharap orang lain yang melakukannya, bukan?

Kita ingin semua orang bisa sejahtera. Para pekerja hidup makmur. Tapi kita tidak mau mewujudkannya. Biaya yang dibebankan kepada kita akhirnya membengkak. Jelas saja, kita tidak siap. Contoh terbaiknya bisa kita lihat dari tercekiknya sebuah negara yang harus membiayai rakyatnya yang tak bertanggungjawab.

Kemiskinan diperlukan, karena kita tidak siap melihat kemakmuran bersama yang penuh dengan beban keuangan di pikiran kita. Kita tidak siap menjadi contoh percobaan pertama, yang harus menanggung tidak hanya pajak tinggi yang dibebankan pemerintah. Tapi juga pajak sosial dan mungkin juga, pajak empati bersama.

Andaikan saja, empati pun harus dipajaki untuk membuktikan bahwa kita ini orang yang bermoral dan baik hati. Apakah kita mau? Yang bisa jadi, kelak, tersenyum ke orang lain pun, juga akan dikenakan pajak sosial dan empati bersama.

Kita semua menyukai orang-orang miskin. Karena merekalah, kita bisa sedikit berbahagia dan menikmati hidup dengan penghasilan kita yang pas-pasan. Bagi kita yang makmur, kita bisa bersenang-senang membeli apa saja, dari bensin murah, makanan murah di jalan-jalan, sampai barang elektronik dan pakaian yang murah, karena buruh murah ada di mana-mana.

Tanpa orang miskin, banyak dari kita benar-benar menderita.

Mari kita bayangkan, seandainya seluruh buruh murah di dunia ini menghilang. Lenyap seketika. Mendadak saja digantikan oleh buruh-buruh berpenghasilan tinggi. Dan entah kapan, saat kita melangkah ke sebuah toko ritel atau pasar tradisional, harga-harga melambung tinggi dan harga kebutuhan dasar pun membengkak menjadi beberapa kali lipat. Apakah kita sudah sangat siap, untuk hal semacam itu?

Demi, keadilan bersama, apakah kita siap?

Tentu saja tidak. Kita semua nyaris membenci keadilan dan kesejahteraan bersama, jika kita harus turut andil dalam pembiayaannya. Kecuali memang sangat terpaksa dan dilabeli tekanan hukum tertentu.

Yah, memang, sangat menyenangkan membicarakan ketidakadilan dan bersimpati dengan mereka yang bergaji rendah. Berempati dengan mereka yang miskin. Sampai kita lupa, jika di dekat kita sendiri, ada orang miskin yang kita abaikan dengan sadar dan penuh kesungguhan.

Kemiskinan itu menarik. Tidak hanya menarik untuk didiskusikan dan diperdebatkan. Tapi juga menarik untuk dipelihara. Bagi banyak pihak, kemiskinan itu diperlukan. Seperti, bagaimana kita bisa dianggap kaya, jika tak ada orang miskin di sekitar kita? Bagaimana kita bisa sangat senang membeli makanan setiap hari, jika tidak ada orang-orang miskin yang jadi sumber pemasok utama?

AKU, NIHILISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang