Apakah aku penyair? Aku tak tahu. Aku hanya menulis puisi. Ribuan jumlahnya. Tercecer dan terlupakan. Keberadaan yang tersisih dari sejarah hidupku yang kacau. Dan keengganan untuk sedikit melihat, sisi lembut diriku dan sosok laki-laki yang pernah begitu hangat walau seringkali terluka.
Hari ini, entah mengapa, aku mengingat diriku yang lalu. Saat aku menyukai sastra. Saat aku menyukai puisi. Setiap hari menulis puisi dan terus menulis. Seolah-olah puisi adalah bagian dari diriku. Keseharian. Mungkin itulah alasannya kenapa aku tak pernah menjadi penyair.
Entah ada di mana saja puisi-puisi yang pernah aku buat. Yang ada di kertas-kertas. Di media-media sosial. Tersebar di berbagai catatan harian. Dan komputer-komputer yang rusak. Aku tak tahu, berapa banyak yang bisa diselamatkan. Dan berapa yang akan hilang.
Setelah sekian lama aku berjarak dalam sastra. Berjarak dengan masa laluku dan puisi-puisi yang mengiringi hidupku. Mungkin inilah waktunya, tahun ini, aku mulai menengok diriku yang lain.
Diriku yang dulu. Dan puisi-puisi yang terlupakan. Aku harus mulai menghargainya dan memberi ruang bagi puisi-puisi itu untuk bernapas kembali.
Membukukannya. Menghormati apa yang pernah aku buat dan jalani.
Aku membeli buku Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948-2008 hari ini. Aku mencoba memulai dari buku tebal itu. Dari penyair yang begitu misterius bagiku. Setelah Chairil. Setelah Wiji Thukul.
Sebelum itu, aku membuka kembali buku besar karya Afrizal Malna. Buku yang selalu aku sukai. Buku yang indah dan menyenangkan untuk dibaca. Sesuatu Indonesia.
Buku terbaik dari sang penyair yang berkelana dalam kehidupan yang entah itu. Buku yang membicarakan puisi. Membicarakan diri yang dekat.
Mungkin aku akan mulai mengumpulkan semua yang tercecer. Yang lepas. Yang terlupakan. Yang tak dianggap. Yang hampir tak pernah lagi aku tengok. Yang akan menjadi bagian diriku kembali.
Lalu, apakah aku seorang penyair?
Entah. Atau tidak. Aku tak pernah menjadi penyair. Karena puisi sudah terlanjur menjadi diriku. Menemani kesepianku yang panjang. Kebosanan-kebosanan yang selalu terjaga.
Dan perasaan yang tak bisa dijelaskan oleh tulisan-tulisan lainnya. Di dalam puisilah, aku berdiam. Menjadi sosok laki-laki yang tak banyak bicara dan tak perlu menjelaskan ke orang lain mengenai dunia yang aku jalani.
Puisi adalah bagian yang paling intim dari sejarah kehidupanku. Sebuah dunia, yang mana aku bebas tenggelam dalam kesendirianku dan rasa sakit dari seorang manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU, NIHILIS
Não Ficçãoapa jadinya, jika hampir semua orang lebih memilih menghindari menyelesaikan persoalan utama kehidupan dan lebih memilih hidup tenang dan kepura-puraan yang disepakati? lalu, kapan akan ada akhir? kapan ulangan akan berhenti?