MELEPAS DUNIA INTELEKTUAL

42 3 2
                                    

Aku telah menyelesaikan tiga buku dan dua buku lainnya dalam proses. Dalam bulan ini, jika aku mau, total buku yang aku selesaikan harusnya sudah lima buku. Satunya lagi padahal tinggal proses editing dan tahap akhir. Tapi aku meninggalkannya. Satunya lagi, sudah aku selesaikan bagian atau bab pertama sebagai awalan pembukaan, dan bisa aku selesaikan bulan ini kalau mau. Tapi aku juga sudah tidak peduli.

Aku menyerah. Aku lelah. Enam bulan terakhir ini aku berjuang mati-matian melawan kebosanan dan tubuhku yang ringkih. Aku pun lari ke Bali. Mencoba sedikit meredam isi kepala dan sedikit bersenang-senang.

Aku orang gila yang cukup beruntung. Aku masih bisa lari ke sana kemari. Membeli ini dan itu. Melakukan perjalanan jika ingin. Menulis dalam diam sambil membaca sebagai suatu hal yang tak bisa lepas dari kehidupanku.

Hedonisme kegilaan yang timbul dari kebosanan intelektual.

Para penulis dan pemikir yang aku kenal tak seberuntung diriku. Walau kehidupan mereka cukup normal dan perasaan mereka tak terlalu kacau. Tapi mereka terjebak tidak hanya dalam pengabaian intelektual oleh rekan dan kenalan sendiri. Mereka juga seringkali kekurangan uang, terjebak di dunia kerja dengan gaji tak seberapa, terlanjur melahirkan anak yang membuat mereka agak tertekan dan tak lagi bebas, dan terpenjara di dalam rumah dan kamarnya masing-masing.

Banyak dari mereka pun tak bisa mencetak buku-buku mereka dengan kertas dan standar cetakan yang bagus. Malah ada yang begitu sangat putus asa dengan memberikan gratis hasil pemikiran mereka dan tulisan-tulisan mereka demi menyelamatkan pikiran-pikiran mereka yang entah harus diapakan dan dikemanakan.

Jika para penulis, pemikir, dan para intelektual yang jumlahnya tak seberapa itu menerbitkan buku. Yang peduli pun hanya sedikit. Kebanyakan orang yang dikenal cenderung menghindar. Apalagi, banyak penulis dan pemikir hari ini tak mampu saling berbincang dan duduk bersama. Apalagi saling mendukung? Itu sudah menjadi langka. Hanya beberapa orang yang mampu melakukannya.

Antara pemikir satu dan lainnya cenderung malah saling menghindari, tak ingin terlibat, dan terkadang ada perasaan iri jika kehidupan yang lainnya jauh lebih baik dan berhasil. Sedangkan para penerbit lebih memilih para kenalan mereka sendiri untuk diterbitkan dan memilih tulisan-tulisan yang aman dan menghapus gagasan-gagasan menarik yang liar.

Lingkungan intelektual yang sudah hampir punah itu, mendorong aku untuk mundur, menjauh, dan tak lagi terlibat. Apalagi di sebuah dunia semacam ini. Saat segalanya begitu mudah viral dan kebencian serta perasaan iri meledak di mana-mana. Untuk apa lagi?

Lebih baik menyimpan semua gagasan-gagasan untuk masa depan yang jauh. Seperti kebanyakan para filsuf yang baru dikenal setelah menua atau baru diakui setelah kematian mereka.

Sekarang, aku hanya ingin menjadi borjuis kecil. Bohemian borjuis. Memeluk individualisme ringan dan merayakan egoisme pribadi dan hanya berfokus pada diriku sendiri.

Saat hubungan sosial telah runtuh dan pertemanan menjadi kian rusak dan penuh dengan keraguan. Mengharapkan orang banyak selalu berakhir sebagai rasa sakit.

Aku hanya perlu bersenang-senang. Mencoba bertahan dari kebosananku sekarang ini. Pergi ke sana kemari. Dan melihat teman-teman dan mereka yang aku kenal terpenjara dengan keluarga mereka. Rumah mereka. Kamar mereka. Dan pekerjaan mereka yang layaknya kurungan dan mengikat mereka dalam kebosanan yang setiap hari harus dijalani.

AKU, NIHILISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang