4. Dilemanya Khiya

2.1K 265 6
                                    

"Hoy" Khiya terperanjat saat bahunya di guncang oleh seseorang, saking tidak suka dikejutkan, Khiya menatap tajam sang pelaku

"Hening" Orang tersebut cekikikan karena berhasil membuat Khiya terkejut ketika sedang melamun sambil menatap kebun kopi

"Hayoloh ngelamunin apa? Bang Mahes kan?" Tunjuk Hening menggoda sahabat kecilnya.

"Kata siapa?"

"Halah, itu buktinya" Hening menunjuk kantong pelastik di genggaman Khiya

"jauh-jauh beli tepung terigu kesini. padahal ada warung buk Muh disamping rumah"

Mengerjap pelan, Khiya menurunkan pandangannya, ia rela jauh-jauh beli tepung terigu semata-mata agar bisa melihat Mahesa yang tiga hari ini tak ada kabar.

"Nah itu bang Mahesnya" tunjuk Hening dengan heboh yang langsung membuat Khiya mendongak cepat

"Jangan di tunjuk gitu" Khiya memaksa turun tangan Hening ke bawah agar kehadirannya tidak disadari oleh Mahesa yang kini sedang menyambut seorang bapak-bapak bertubuh gembil dengan topi koboy di kepalanya, ia tidak sendiri melainkan beliau memboyong anak dan istrinya

"Berantem lagi?" Kursi panjang yang diletakan khusus depan warung itu diduduki oleh dua sahabat yang sama-sama memiliki poni di dahinya.

"Abang mau merantau, Ning" sudah tahu tabiat Khiya, Hening itu memutar bola matanya.

"Tidak kamu beri izin lagi?" Khiya menggeleng lemah sambil terus menatap Mahesa yang menyatukan kedua lengannya dibawah sembari menurunkan bahunya saat berhadapan dengan pak Bambang, ah bukan hanya pak Bambang tetapi hampir ke semua orang yang menurutnya memiliki kuasa lebih -secara finansial-

"Mana bisa aku jauh-jauh dari bang Mahes"

"Makanya cepat menikah"

"Bang Mahes bakal nikahin aku kalau uangnya sudah cukup, sedangkan Keuangan bang Mahes sedang tidak baik. Dia harus biayai kuliah Syifa" Khiya mendengus kesal saat anak-anak pak Bambang hanya mencium punggung tangan mandor yang berada disana dan melewati Mahesa.

"Nah itu tahu" Khiya menoleh pada Hening

"Maksudnya?"

"Di kota itu lebih banyak peluang untuk cari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya. Apalagi bang Mahes pintar, pasti gampang mendapat pekerjaan" Hening mengalihkan tatapannya ke tempat Mahesa sedang berada.

"Kalau di kota ilmunya dipakai, pasti bang Mahes sudah menjadi orang sukses melebihi Fadil, tidak seperti sekarang tuh" Hening menujuk Mahesa dengan dagunya.

"Seperti Budak yang tunduk di bawah kuasa seseorang" pak Bambang membuka bagasi mobilnya dan menujuk beberapa karung untuk segera di angkut.

Mahesa memanggul satu persatu karung itu ke tempat yang lebih landai tak jauh dari mobil tersebut.

"Warnanya tidak rapih" Mahesa mengintip hasil karya Khiya di buku gambarnya. sepulang mengaji kemarin, bocah yang rambutnya sering dipakaikan bando itu meminta di ajarkan menggambar karena tak sengaja melihat buku gambar Mahesa yang tegeletak di Masjid.

Dan di bawah pohon ketapang ini, mereka belajar menggambar bersama.

"Di lihat dari mana? Gunung kan memang berwarna hijau"

"Gunung memang warnanya hijau, tetapi saat mewarnai gambar harus satu arah" Mahesa mengambil salah satu pensil warna lalu mencontohkannya di kertas

"Seperti ini, atau tidak seperti ini" Mahesa memperlihatkan teknik mewarnai horizontal maupun vertikal

"Tidak boleh begini" Mahesapun memberikan teknik yang salah supaya Khiya tidak melakukan itu.

Titik Balik (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang