43. Khiya tidak sebaik itu

2K 207 1
                                    

"Syifa" panggil Khiya disampingnya, gadis itu mengalihkan tatapannya dari bacaan do'a dengan mata yang membengkak

"Makan dulu" kesekian kalinya Khiya membujuk Syifa untuk makan sampai tengah malam seperti ini. Memang dalam keadaan seperti ini makan adalah hal terakhir yang diinginkan namun dalam kondisi seperti ini harus dipaksakan agar tidak jatuh sakit.

Syifa langsung membuang muka

"Ngga mau yuk, ngga laper"

"Perutnya yang laper, tapi tidak dipedulikan" Khiya meraih tangan Syifa "Syifa" panggilnya halus

"Kalau kamu tidak makan nanti sakit, sedangkan kamu butuh energi buat mengikuti prosesi terakhir kalinya bersama Kinan. Ibu juga belum makan loh dari tadi, beliau masih tidak terima dan beberapa kali pingsan di kamar. Bang Mahesa memang anak pertama yang lebih bertanggung jawab, tetapi dalam kondisi seperti ini apalagi abang kamu sedang jauh, pasti yang lebih didewasakan untuk menjaga ibu itu kamu. Siapa tahu kalau kamu yang bujuk, ibu mau makan" tutur Khiya selembut mungkin.

Syifa kembali menatap Khiya dengan air mata yang bersimbah kembali, kata-katanya seperti menghipnotis "dimana makanannya yuk?"

Kalau sedang berduka memang sedikit linglung, Syifa saja sampai lupa letak tempat makanan yang biasa digunakan untuk menyimpan makanan

"Mau ayuk ambilkan?"

Syifa menggeleng "nanti ngerepotin Ayuk"

"Ayuk ambil kan, sebentar" Khiya segera pergi ke arah meja makan yang sudah tersaji makanan yang ia pesan untuk pemilik rumah maupun warga yang ikut serta berdoa dan mengurusi semua perlengkapan

Ambulan yang mengantarkan jenazah Kinan dan Mahesa sampai dini hari yang disambut duka pilu dari keluarga maupun teman-teman yang merasa kehilangan Kianan.

Bu Marni memaksakan diri menunggu di ruangan tengah dan menyaksikan jenazah Kinan diletakan, beliau meraung pilu sambil memeluk Kinan, namun Syifa maupun Mahesa menahan ibunya agar tidak bertindak berlebihan.

Diam-diam khiya ikut menangis sambil memeluk bunga yang baru dibelinya. Apalagi saat memandang bahu tegap yang lama tak terlihat kini tenggelam layu,  Mahesa tidak menangis, namun di wajahnya terdapat bekas-bekas air mata dan memancarkan sorot lelah bercampur kesedihan yang mendalam, disaat yang sama pria itu ingin terlihat tegar

Ibunya kembali pingsan lalu Mahesa mengisyaratkan seseorang untuk mengambil air hangat. Khiya yang posisinya dekat dengan tempat minum, sigap mengambil gelas yang diisikan air air hangat beserta sedotannya lalu memberikannya langsung

Khiya memberinya dari arah belakang bahkan jemari mereka tak sengaja bersentuhan, namun pria itu tidak mau repot menoleh ke belakang, hanya mengambilnya, lalu meminta seseorang mengambilkan minyak angin

Khiya yang kebetulan menyaku minyak angin kembali mengulurkan tangannya pada Mahesa, berharap pula pria itu tidak menyadari kehadirannya. Lebih baik seperti itu untuk sekarang.

Mahesa menerima minyak angin tersebut dari seorang perempuan bergamis cokelat lalu menempelkannya minyak angin dekat hidung ibunya

Samar-samar bu marni membuka mata lalu menyapu pandangan dan kembali menangis "nak, Kinan tidak meninggal, kan? Ibu hanya sedang bermimpi saja" mohonnya pada Mahesa berharap semua ini mimpi. Namun anak sulungnya merangkul sang ibu "Sabar bu, Kinan udah tenang disana" bisiknya

"Hes, ibumu bawa ke kamar terus bujuk dari tadi menangis terus, kasihan" ucap pamannya

Mahesa menoleh kembali pada ibunya "istirahat ya bu" ibunya menggeleng

Titik Balik (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang