17. Sesederhana itu

1.3K 190 1
                                    

Apa tadi? Tidak usah cemburu-cemburu? Bah! Cemburu dan Mahesa sudah melekat bagai sepidol dan tinta semenjak mengenal Zakhiya, si kembang desa yang kini duduk di samping sedang menuangkan air teh.

Mustahil Mahesa tidak cemburu melihat Zakhiya berduaan dengan Nino walaupun di ruang terbuka. Zakhiya tidak tahu saja bahwa jauh di lubuk hati, Mahesa ketakutan setengah mati melihat cara Nino menatap Pujaan hatinya sangat lembut seakan Khiya memiliki tahta tertinggi. Hanya saja Mahesa mencoba untuk bersikap biasa saja menghadapi sosok Nino yang perlu diperhitungkan. Sorot mata yang tajam, lirikan pelan, dan pembawaannya yang tegas. Marah-marah tak jelas hanya akan menjatuhkan harga dirinya.

Wajar-wajar saja cemburu. Tetapi untuk menuangkannya harus lebih hati-hati.
Sekiranya bentuk cemburu bukan sebuah solusi apalagi mengundang patah hati, lebih baik kembali pada apa yang sudah diberikan pada pasangan sedari awal yaitu kepercayaan.

Beruntung Khiya masih Khiya yang dulu. Polos dan mendamba dirinya. lihat saja tatapannya, sepasang bola cokelat itu hanya bersinar saat menyorotinya

"Makan yang banyak kamu" tangan Mahesa mengusap gemas ubun-ubun Khiya lalu kembali beralih mengambil tusuk sate lain yang masih tersisa daging.

Di saat yang bersamaan aroma tubuh mahesa tercium. Kali ini bukan bau keringat bercampur parfum yang dipakai lalu hilang setelah satu jam, melainkan parfum yang sama dengan milik pak Nino. Khiya ingat harum ini mirip dengan harum pak Nino yang pastinya mahal.

Alih-alih kagum dengan  perkembangan aroma tubuh Mahesa justru ketakutan lah yang Khiya rasakan saat ini.

Pasti banyak perempuan yang nyaman berada di dekat Mahesa apalagi pembawaan calon suaminya ini lebih santai, berwibawa, dan rapih. Lalu jangan lupakan karir Mahesa sekarang, Perut khiya tiba-tiba mulas membayangkan Mahesa dikelilingi banyak perempuan.

"Kamu sakit?" Khiya menoleh dan mendapati Mahesa yang sedang melirik tangannya di perut lalu kembali menatapnya khawatir. "a-ah Khiya tidak apa-apa" jawabnya meringis kaku

"Itu pegang-pegang perut?"

"Khiya kenyang, abang yang habisin ya"
Khiya menggeser piring satenya ke arah Mahesa.

Menggeleng tegas, Mahesa menggeser lagi piring khiya "Kebiasaan, makan di sisa-sisain gitu. Habisin."

"Tidak bisa, perut Khiya penuh" kedua alisnya membentuk garis ke atas membingkai sepasang bola caramel yang memelas. 

"Paksain. badan kamu udah kurusan gitu" Disentuh pergelangan tangan Khiya yang memperlihatkan tulangnya lebih jelas.

Mendengar kata kurusan, jemari Khiya menyentuh kedua pipi dengan cubitan. Masih bisa di cubit dan kulit yang terangkat cukup banyak seperti jelly.

lihat betapa menggemaskannya Khiya yang sedang mencubit-cubit pipinya penasaran

"Khiya tidak kurusan" Khiya membalas tatapan Mahesa tak terima "Abang yang gendutan. Makanya dimata abang khiya terlihat lebih kurus" ck, padahal berat badan mahesa sudah turun tujuh kilo dari delapan puluh tujuh.

"Sindir abang kamu dek?" liriknya sinis, Mahesa tak sungguh-sungguh. Ia hanya menggoda Khiya namun sepertinya dianggap serius "Abang marah?" Khiya memegang bagian lengan atas Mahesa yang masih terbalut kemeja.

"Engga!" tapi tatapannya sinis

"Gendut atau kurus, Abang tetap ganteng seperti biasanya. Khiya bilang gendut bukan berarti tidak suka justru merasa senang karena abang lebih bahagia" berkedip dua kali, Mahesa menoleh. bisa apa Mahesa jika Khiya sudah menatapnya lembut dan mengeluarkan kalimat pujian yang terdengar tulus.

Telaga bening sehitam arang itu bersinar penuh kelembutan namun tak meninggalkan sorot tegasnya saat "Jujur sama abang, lebih suka abang gendut atau kurus?" 

Titik Balik (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang