"Zakhiya, pulang bareng abang" Mahesa menjulang diantara Khiya dan Fadil yang saling berhadapan.
Berani-beraninya Fadil mengajak Khiya pulang menggunakan motornya sedangkan pagi tadi sangat jelas bahwa Mahesa akan menjemput Khiya usai gadis itu membantu keperluan tasyakuran bu lurah
"Abang"
Mahesa berjalan lebih dekat dan menatap Fadil penuh permusuhan "Mahesa, kamu tidak berhak atas Zakhiya. Kalaupun punya tanggung jawab lebih, seharusnya kamu datang lebih awal bukan hampir tengah malam begini"
"Zakhiya calon istri saya" Mahesa memperingati Fadil dengan telunjuk yang mengacung tetapi- Fadil rindu bermain-main dengan Mahesa
"Masih calon kan? Kapanpun bisa batal. Laga mu hes sudah seperti suami padahal tidak ada kontribusi apa—-" kerah baju Fadil ditarik oleh Mahesa yang sejak tadi mengepal tak sabar ingin memukul wajah Fadil
"Bajingan!"
Satu pukulan berhasil mengenai wajah fadil seiring teriakan Zakhiya yang mengundang perhatian beberapa warga sekitar.
Khiya segera menarik tangan Mahesa yang ingin memukuli Fadil lagi.
"Abang cukup! Abang tidak boleh pukul dia" bola caramelnya menyapu sekitar, memberi tahu Mahesa bahwa kini warga mendekat ke arah mereka.
Fadil tersenyum pongah menatap Mahesa, Bisa-bisanya Khiya memilih Mahesa yang temperamental seperti ini, sengaja ia tidak menghajar balik karena tahu masih ada warga yang masih mengobrol dan beres-beres rumahnya. Setidaknya mereka lebih tahu seperti apa lelaki yang Zakhiya pilih dan seberapa tidak pantasnya Mahesa yang kerap dibanding-bandingkan dengannya.
Mahesa menarik tangan Khiya dan memaksanya untuk naik ke motor sebelum warga menghampiri mereka.
Sedang di belakang kemudi, Khiya bergetar ketakutan melihat kemarahan Mahesa "Maafin Khiya bang" hanya kalimat itu yang Khiya ucapkan sepanjang perjalanannya ke rumah Khiya.
"Turun!"
Mahesa menoleh saat Khiya sudah turun dengan lelehan air dari mata cenerlangnya.
"Abang masih marah sama khiya? Khiya tidak macam-macam sama bang Fadil. Abang masih belum percaya? Abang tahu sendiri kan, Khiya hanya suka abang"
Menghela nafas berat, Mahesa menunduk lalu menoleh kembali ke arah Khiya dengan sorot yang masih sama seolah Khiya adalah terdakwa
"Kamu senyum terus ketawa-tawa bareng dia" Masalahnya Tadi itu Fadil bercerita Gajah terbang
"Sadar ngga, kamu makin manis kalau senyum sama ketawa. Bikin orang ramai-ramai pengin nikahin kamu"
Khiya masih menunduk dan mengintip Mahesa lewat bulu mata lentiknya, merasa bingung, satu sisi ia bersalah telah tersenyum dan tertawa, sisi lain jiwanya menyala-nyala seperti kembang api saat Mahesa memujinya.
"Janji, senyum sama ketawa kamu cuma milik abang" mata caramelnya membulat seiring jari kelingking Mahesa di hadapannya. Pelan-pelan Khiya membalas tatapan Mahesa yang melembut.
Tidak mau membuat Mahesa marah lagi dan terlanjur sangat cinta, Zakhiya mengangguk dan menautkan kelingkingnya
"Janji"
"Abang, Khiya bisa jelasin. Tadi itu pak Nino sedang butuh bibit mawar dan minta tolong untuk mencarikannya kebetulan Khiya punya banyak jadi khiya tawarkan saja. Abang tidak marah kan?" Tanya Khiya khawatir
Alih-alih menatap tajam Nino dan menghajarnya seperti dulu, Mahesa tersenyum samar dan melepas cengkeraman Khiya yang penuh kegelisahan itu kemudian mengulurkan tangannya pada Nino
"Mahesa"
Tindakan Mahesa nyaris membuat rahang Khiya jatuh, pria itu terlihat biasa saja.
"Nino" arah tatapan Nino kembali pada Khiya
"lain kali saya akan balas kebaikan kamu, terima kasih bunganya" Nino tersenyum tipis ke arah Khiya kemudian mengangguk sekali dengan senyum memudar menatap Mahesa
"saya pamit"
Sampai Nino menekan pedal gas mobil, Khiya merasakan tangannya disentuh lalu digenggam. Seakan berduaan dengan Nino adalah kesalahan besar, Khiya tidak puas kalau Mahesa belum memaafkannya
"Abang Maafin Khiya, kan? " bulatan sehitam arang itu menyoroti Khiya penuh kelembutan yang lagi-lagi membuat Khiya tertegun.
"Punya salah apa kamu?" Tangan Mahesa beralih melingkari bahu Khiya dan menariknya agar ikut melangkah ke teras yang lebih sejuk
"Berduaan dengan pak Nino tapi Khiya tidak melakukan apa-apa. Khiya tidak senyum apalagi ketawa"
"Abang enggapapa" Mahesa melepas rangkulannya kemudian membuka salah satu paperbag besar yang ditaruh di meja
"Abang tidak cemburu?" Padahal Khiya sudah setengah menangis
"Ngga usahlah cemburu-cemburu, abang udah percaya ini sama kamu" bibir yang sejak tadi bergetar akhirnya melengkung membentuk senyuman yang hanya Mahesa dapatkan.
Baru-baru ini Mahesa mendapat dinas di Palembang lalu dua hari terakhir Mahesa meminta izin untuk pulang ke kampung halamannya seorang diri dengan waktu yang singkat.
Dua setel baju, satu set perawatan kulit, sepasang sendal, dan Smartphone yang mirip dengan ibunya.
Seingat Khiya smartphone ibunya bisa video call, Facebook an dan memiliki kamera depan."Sebelum tidur pakai pembersih ini dulu biar debu yang nempel terangkat, cuci pakai sabun, setelah itu pakai cream dan pelembap , abang udah pastiin perawatan kulit ini cocok di semua jenis kulit" mahesa mengambil salah satu kemasan diantara perawatan kulit yang bertuliskan "body scrub"
"Ini body scrub fungsinya untuk mengangkat sel kulit mati dan melembutkan kulit. Khusus ini, dipakai seminggu 3 kali. Caranya mandi dulu pakai air hangat terus oleskan ke seluruh badan tunggu beberapa menit kemudian basuh pakai air dingin. Kalau sudah kering, oleskan body lotion yang biasa kamu pakai. Masih ada kan? Oh iya abang beli satu box masker tapi dibawa Syifa semua. Katanya, biar dia aja yang kasih kamu langsung" Binar mata Khiya meredup alih-alih bersinar mendapat hal yang perempuan idamkan.
Sejujurnya, Khiya masih merasa tidak enak kalau Mahesa seperti ini. Memenuhi keperluannya yang tidak terlalu diutamakan, walau bagaimanapun mereka belum sah menjadi suami istri, apalagi menafkahi seperti ini.
Dari pada itu, lebih baik uangnya ditabung untuk biaya nikah agar mereka resmi menjadi suami istri.
"Gak perlu lagi kamu pakai pulsa buat hubungi abang. Udah abang setting internetnya yang berlaku satu tahun. Kalau mau hubungi abang pakai Whats App aja, Jadi, kalau kamu pakai Whats App kita bisa video callan, lumayan ngobatin rindu abang liat wajah kamu, dik. Hape lama, kasih aja ke Dimas"
Khiya menghela nafas berat, merasa bosan dengan topik pembicaraan Mahesa di saat yang Khiya perlukan saat ini adalah mengobrol menanyai kabar calon suaminya atau hal yang calon suaminya rasakan saat di tempat perantauan.
"Kok diem? Ada yang kurang cocok dari semua yang abang kasih?" Si jelita berambut sebahu itu tersenyum tak sampai mata lalu menggeleng pelan. Tangannya menarik benda yang ada di genggaman Mahesa kemudian menaruhnya di meja.
"Sebentar lagi adzan maghrib, abang ke masjid ya setelah itu Khiya masak roti jala kari kesukaan abang" Bibir Mahesa mengerucut lucu lalu membuat gerakan memutar nampak menimang sesuatu.
"Abis kerja kamu, pasti capek. Makan sate kambing pak Ijo aja, gimana? Lebih praktis" tatapan Mahesa turun ke arah jam tangan silvernya "Abang ke masjid dulu. Setelah itu abang jemput kamu" Seluruh oleh-oleh yang dikeluarkan kembali dimasukkan dan di rapih kan lalu menaruhnya di meja.
Padahal Zakhiya tidak masalah bila harus memasak kari roti jala walau tubuhnya seakan remuk setelah seharian bekerja dan membantu pak Nino.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Balik (End)
RomanceKhiya dan Mahesa adalah sepasang petani yang menitipkan hati satu sama lain. melalui kasih, ada satu dunia yang hanya mereka tempati. melalui kasih, mereka adalah pasangan sehidup semati. melalui kasih, apakah bersama adalah pilihan yang pasti? Ba...