24. Pura-pura Bahagia

1.4K 186 3
                                    

Minggu lalu pak Nino menawarkan Khiya kursus bahasa Inggris secara gratis bersama mahasiswanya yang sedang KKN di kampung ini.

Mulanya Khiya menolak karena tidak menemukan alasan yang tepat harus belajar bahasa Inggris namun ibunya berkata "banyak ilmu yang dipelajari tidak akan membuat kepalamu berat, justru semakin banyak hal yang kamu pelajari maka semakin bertambah nilai kualitas diri. Lihat di luar sana, orang berwawasan luas lebih dihargai"
Ibunya melanjutkan "jangan terlalu fokus sama pernikahan, otak kamu perlu dikasih makan. Biar si Marni dan Mahesa bangga"

Nah itu kata kuncinya Marni dan Mahesa yang akan bangga jika ia pintar bahasa Inggris. Di kota, pasti Mahesa bertemu perempuan-perempuan cerdas, Zakhiya tidak mau kalah bahkan tak masalah tubuhnya basah oleh keringat ketika mejulang seorang diri diantara keramaian

Menjelang siang kelas bahasa di sudahi dan memperbolehkan peserta untuk pulang. Ngomong-ngomong setelah mendapat pendapatan dari sewa lahan, Khiya berhenti menjadi petani teh setelah terserang DBD. Bukan keinginan Khiya, tetapi  ancaman ibu yang akan memberitahu Mahesa tentang kecelakaan di ladang.  Sebagai penggantinya Khiya berjualan keripik kentang di toko bu Darto. Soal itu Mahesa belum tahu.

"Udah selesai belajarnya?" Tanya Nino yang kebetulan berada disana.

Khiya mengangguk

"Pulang bareng, sekalian lihat ladang singkong milik saya" pak Nino pernah berkata ladangnya melewati rumah Khiya. Kalau bukan hujan yang semakin deras, Khiya akan menolak tawaran pak Nino.

Sepasang telaga bening kecokelatan itu menatap sesal kakinya yang telah mengotori karpet mobil.

Pertama kali Zakhiya menapaki diri di mobil semewah ini. Sangat wangi khas parfum pak Nino, suara diluaran sana tidak begitu terdengar begitu pula dengan suara mesin mobilnya.

Kursi yang Khiya duduki saat ini sangat empuk melebihi sofa rumah bu Marni. Jalan-jalan yang rusak pun tidak membuat tubuh khiya terpental lebih.

"Suka?" Khiya menoleh cepat pada pak Nino

"Suka?" Khiya tidak tau suka yang dimaksud pak Nino

"Mobilnya, kamu terlihat nyaman disini" sebagai respon khiya hanya bergumam malu sambil tersenyum dan matanya kembali liar memindai tiap sudut mobil ini

"Mau punya mobil seperti ini?" Memiliki mobil sama sekali belum pernah terpikirkan. Baginya, yang memiliki mobil adalah orang-orang yang memiliki penghasilan besar dan hidup serba kecukupan.

Walau tatapan Nino pada jalan, sudut matanya mampu melihat Zakhiya sedang menggeleng "Harganya mahal, Khiya tidak punya uang sebanyak itu"

"Belum. Pembayaran sewa lahan selama satu tahun bisa sampai tiga puluh lima juta, cukup untuk dijadikan DP. kalau tidak mau kredit, kamu bisa mengumpulkannya selama empat tahun" Khiya menggeleng.

"Uang itu lebih baik Khiya tabung untuk keperluan lain, lagipula mobil tidak begitu dibutuhkan" Nino tersenyum gemas

"Mobil bukan identitas finansial seseorang tetapi kebutuhan dasar manusia. Walau mobilitas kamu hanya di kampung ini, paling tidak kamu bisa membantu keluargamu untuk tidak bertiga saat berkendara motor, bahaya"
Nino ngeri sendiri melihat kebanyak penduduk di desa ini yang sering menggunakan motor oleh tiga orang termasuk Khiya.

Mobil Nino tiba-tiba berbelok ke arah lapangan yang luas "bapak mau ngapain?"

"Ajarin kamu mobil" sahutnya ringan

"Tidak pak, Khiya tidak mau, nanti takut menabrak" Nino menghentikan mobilnya lalu menatap sepasang mata kecokelatan "Tidak mungkin nabrak, ada saya" sepenuhnya Nino menghadap Khiya

Titik Balik (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang