7. Maskawin emas seberat 4 gram

2.1K 254 3
                                    

Khiya mengambil sehelai kain persegi empat yang telah di lipat untuk menutupi rambut lurusnya. Hal biasa yang sering ia lakukan saat berpergian jauh.

"Ayuk Khiya, bang Mahesa sudah datang" raut yang semula sendu berubah panik saat suara adiknya terdengar nyaring dari luar kamar.

"Adik tolong bantu ayuk bawa keluar barang-barang yang ada di meja ya?" Sambil mengawasi adiknya, khiya menaruh hapenya kedalam tas disusul tissue yang sudah ia siapkan. Terakhir, Khiya mengambil kunci.

"Hes, hes, barangmu makin banyak. Itu isinya apa aja? Keripik kentang, abon. Itu kan sudah ibu buatkan, kalau gini caranya kamu bisa nambah bagasi pesawat" Tukas Marni ketika Mahesa menata makanan yang dibuat Khiya untuk bekal dirinya disana

Gerakan tangan khiya yang sedang mengunci pintu memelan seiring ocehan calon ibu mertuannya.

"Gampang bu, yang di kardus Mahesa pindahin ke kantong pelastik supaya bisa di bawa kedalam. Jadi, engga perlu nambah bagasi"

"Tetap saja, kamu jadi kesusahan bawa banyak pelastik"

"Mahesa engga masalah bu"

pintu bagian bagasi mobil ditutup nyaring lalu di iringi suara langkah yang bertubrukan dengan bebatuan.

"Engga ada yang ketinggalan kan dik?" Khiya berbalik menemukan Mahesa yang nampak berbeda kali ini. Mungkin karena pakaian yang dikenakannnya jauh lebih bersih dan rapih; mengenakan kaus polos berwarna hitam yang dibalut denim cokelat serta celana Levi's yang kali ini tak ada noda tanah.

Aroma minyak rambutpun menguar hingga Khiya mampu menghirup udara lebih lama untuk menikmati aroma tersebut. 

"Harusnya khiya yang tanya, ada barang abang yang tertinggal?"

Senyum Mahesa berkembang "ada"

"Apa yang ketinggalan? Daftar barang yang khiya tulis sudah abang ceklis satu-satukan? Atau ada yang belum ditulis? Padahal kita cek beberapa kali loh bang" khiya semakin panik dan bercampur kesal mendapati Mahesa yang tersenyum geli saat melihat tingkahnya.

"Abang khiya serius. Kalau ada yang ketinggalan, kita balik lagi ke rumah abang sekarang" khiya menaruh kuncinya kedalam tas dengan tergesa-gesa sambil mencuri pandang ke arah mobil.

"Yang ketinggalannya ada disini"

"Disini? Khiya sudah kembalikan semua jaket dan abang"

"Bukan barang, Khiya" Mahesa menatap Khiya dengan sorot pesona yang menyala. Tatapannya tak lepas walau langkahnya semakin maju

"Calon istri abang" bisiknya yang berhasil membuat wajah Khiya memerah seakan aliran darah bergumul di kedua pipi apelnya

Tatapan Mahesa turun lalu berhenti di jari manis yang sudah terpasang oleh cincin emas.

Ah cincin ya?

Cincin emas seberat tiga geram yang di sematkan oleh Mahesa pekan lalu di tepi danau alih-alih di rumah khiya dan disaksikan oleh masing-masing keluarga.

"Zakhiya" khiya menatap bayangan Mahesa yang menjulang tinggi menghalangi sinar matahari. Khiya enggan menyahut karena nada yang di utarakan sangat halus dan menerka-nerka usil

"Mahesa" Tuh kan, terkadang khiya sulit memahami imajinasi pasangannya.

"Nama kita engga beda jauh ya dik?" Mahesa menoleh ke belakang, dimana khiya sedang menulis beberapa keperluan yang harus di persiapkan oleh Mahesa untuk pergi ke Surabaya

"Zakhiya Mahesa, Zakhiya Mahesa, saya nikahkan Zakhiya Andriana binti bagas prasetia dengan maskawin emas seberat empat gram dibayar tunai...."

"Abang" Padahal hanya candaan tapi membuat Khiya kesal. Sebab kalimat semanis itu seharusnya diucapkan di depan penghulu. Bukan di atas perahu dalam keadaan sendu bersiap melepas Mahesa.

Titik Balik (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang