18. Suara hati Anya

1.3K 180 5
                                    

"Abang belum menjawab pertanyaan Khiya" gadis itu berbalik sesaat setelah sampai rumah sebelum membuka pintu

"Pertanyaan yang mana?"

Menatap asal lantai dengan risau, Khiya mengintip Mahesa lewat bulu matanya

"melamar Khiya secara resmi"

Mahesa mengusap tengkuknya "Bang" tangan yang semula di tengkuk, Mahesa sembunyikan di balik saku celana bahannnya

"Lamaran resmi, persiapannya harus matang. Abang perlu hubungi keluarga besar abang begitupun keluargamu, setelah itu mencocokkan waktu libur biar abang bisa pulang -sebentar" Mahesa mengambil didalam saku lalu menyentuhnya beberapa kali. Selanjutnya mendekat ke arah Khiya sampai bahunya menempel menempelkan bahu "coba lihat" Sebuah video lamaran yang mirip seperti acara pernikahan karena setiap sudutnya di hias begitupula para keluarga dan tamu yang memaka riasan

"Abang mau lamaran kita seperti ini" melirik sekilas, memastikan raut Khiya. Ternyata sama-sama terpesona. mahesa memperlihatkan video lainnya. "Abang ada teman wedding organizer, tim yang mengurus acara pernikahan dari lamaran sampai resepsi. Jadi kita ngga perlu sibuk sana sini, cukup jelaskan apa yang kita mau mereka akan menyesuaikan"

"Konsepnya bagus-bagus, mereka juga ngga keberatan datang langsung kesini buat siapin semuanya. Ibu juga udah setuju kalau konsepnya kayak ini"

Khiya mendongak, menatap wajah Mahesa yang disinari cahaya ponsel "tapi mahal kan bang?" Mematikan ponsel dan mengembalikan ke asalnya, mahesa membalas tatapan Khiya

"Lumayan, makanya abang masih giat kumpulin uang"

Khiya mengangguk pasrah, ternyata ini yang di maksud ibu-ibu petani kebun teh kalau menikah itu menyatukan banyak kepala. Kalau Mahesa ingin acara semewah itu, Khiya bisa apa, Saat suara terbanyak yang Mahesa dengar adalah Marni.

"Masuk gih, tidur" Mahesa menunjuk pintu rumah Zakhiya oleh dagunya. Khiya mengangguk lalu membuka kunci pintunya

"Dik" khiya menoleh kembali pada Mahesa "Abang balik ke Surabayanya jam 3 subuh diantar pak Sapno, kamu engga usah ikut ya, Ibu Syifa juga engga ikut. Abang engga mau ganggu waktu kerja dan istirahat kamu" Maju satu langkah Mahesa mengusap rambut khiya dengan sayang "Maaf ya, abang belum bisa lamar kamu sekarang. Kamu masih mau menunggu abang?" Tanpa berpikir panjang Khiya mengangguk tersenyum samar walau cahaya matanya sudah meredup saat mengetahui lamarannya di tunda. Lagi.

"Makasih Zakhiya ya"

"Doain abang semoga kerjaan abang lancar dan dimudahkan" banyak hal yang ingin Mahesa ceritakan pada khiya tentang perkerjaannya yang mulai tidak nyaman. Drama antar karyawan, konflik atasan, saling senggol dan ketidakadilan. Menceritakan pada Khiya sama saja menambah beban pikiran gadis itu.

"Pasti selalu Khiya doakan, sebaliknya abang harus giat ibadah" karena akhir-akhir ini Mahesa meninggalkan puasa senin kamusnya dengan alasan lupa sahur. Padahal dulu seterik apapun sinar matahari tetap mahesa laksanakan puasa.

Menjelang sore pesawat yang Mahesa tumpangi mendarat di bandara Juanda, selama itu pula Anya menunggunya di bandara.

Memang keinginan Anya menjemput Mahesa di bandara setelah mereka sempat berpisah di Palembang, "lo udah makan belum?" Tanya Anya saat membuka bagasi mobil untuk menyimpan barang-barang Mahesa

"Belum"

"Bebek pak min lah" Usai mahesa menutup bagasi anya melempar kunci mobil ke arah Mahesa, mengisyaratkan Mahesa yang mengemudi.

"Ga usahlah, gue ada kari dari Khiya. Lo makan juga entar" sebelum berangkat ke bandara Khiya menghubungi Mahesa untuk mampir dan membawa bekal yang sudah ia siapkan semalaman seperti abon daging kesukaannya, kripik kentang dan roti jala kari.

Titik Balik (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang