12. Dua hal yang manis

1.5K 193 1
                                    

"Rencana mau dibuat proyek apa untuk tanah seluas itu, Zakhiya?" Khiya memilin bajunya merasa malu dengan panggilan Zakhiya  yang penuh penekanan itu.

"K-Khiya—" melirik sebentar ke arah Nino sebelum menunduk kembali

"Belum tahu, Khiya itu belum terima kalau tanah milik kakeknya dijual. Padahal sayang juga tanah itu tidak terurus" ibunya segera memotong ucapan Khiya yang terkesan tidak masuk akal.

"Tapi bu-"

"Ibu sudah siapin makan, sudah siang juga" ibunya mengalihkan tatapan pada Nino dan Jayanto

"Pak Nino pak Jayanto, mari makan dulu. Ngobrolnya dilanjut nanti. Ini sudah saya siapkan semuanya" Nino tersenyum sopan dan ikut berdiri saat ibu berdiri lalu mengarahkannnya ke meja makan. Mengabaikan Khiya yang kesusahan untuk berdiri.

Bisa-bisanya.....

Gerakan Khiya terhenti saat sebuah lengan terulur

"K-Khiya bisa sendiri"

"Dengan kondisi seperti tadi, kamu belum mampu berjalan Zakhiya. Seharusnya saya yang mendatangi kamarmu" memang tadi ia dipaksa ibunya untuk ke ruang tengah sambil tertatih-tatih.

Khiya menggigit bibirnya bingung, karena lama Nino menoleh "Bisa lebih cepat, saya lapar"

"Atau mau saya gendong?"

"Biar ibu yang bantu— Ibu" untuk pertama kalinya Khiya memanggil ibunya setengah berteriak. Entah apa yang sedang dilakukan ibunya hingga tidak menyahut panggilan khiya.

Khiya membalas tatapan Nino yang mengisyaratkan untuk menerima uluran tangannya.

usaha menguatkan dirinya gagal saat mencoba berdiri. Tersentak sebentar, mau tak mau Khiya pasrah saat badanya terhuyung lalu berada di dekapan seseorang, lantas tangannya memegang leher Nino untuk menyeimbangkan.

Leher putih nan bersih berada di hadapan Khiya saat ini, dengan aroma tubuh yang sangat wangi. Pertama kalinya Khiya mencium aroma tubuh lelaki sewangi ini.

********

"Ayah dan ibu saya berasal dari Jepang"
Jelas Nino saat ditanya mengenai asal usul keluarganya.

"Kakek saya juga berasal dari Jepang, jadi dulu itu, kakek mantan tentara jepang lalu menikah dengan nenek saya yang asli minang" ibunya menghela sedih

"hubungan mereka tidak direstui karena perbedaan budaya. akhirnya mereka pindah ke kampung ini atas usul buyut saya yang perempuan. untung Nenek masih punya hak atas tanah warisan yang sekarang dibiarkan oleh Khiya" diakhir ibunya mengerling ada Khiya.

"Lebih baik dibiarkan dari pada harus Khiya jual. sejak dulu buyut, nenek, kakek pernah hidup susah. Mereka lebih baik makan ubi selama satu minggu dari pada menjual tanah warisannya" jelas Khiya yang menatap kosong piring dihadapannya sebelum melahap kembali suapan yang sudah ia siapkan

"Mereka pasti lebih bahagia kalau Khiya bisa mengolah tanah itu dengan baik dan bermanfaat untuk banyak orang" pak Jayanto yang sejak tadi memperhatikan obrolan mereka merasa takjub dengan perkataan ibunya khiya.

"Paling tidak, tanah itu tidak ditumbuhi rumput liar. Seperti sewa lahan kalau kamu tetap ingin tanah itu" sahut Nino sebelum meneguk air putihnya

Dari reaksinya, Khiya terlihat biasa saja dan tidak berminat dengan usulan Nino.

"Sudah pernah saya usulkan pak Nino, tapi selalu ditentang. Kalau kamu tidak mau jual setidaknya ada rencana yang jelas loh" Kenapa ibunya harus ikut memojokkan Khiya, padahal ibunya sudah tahu alasan khiya mempertahankan tanah itu.

Ponsel Khiya berbunyi dan menyelamatkannya dari situasi yang mengerikan ini. Tertera nama Mahesa di sana namun sungkan untuk menjawab sebab ibunya sudah berdecak muak.

"Tidak apa-apa angkat saja" sahut Nino ringan yang merasakan ketegangan Khiya. Kalau Kaki Khiya tidak sakit pasti ia langsung pergi ke kamar.

Khiya tidak bisa angkat telepon abang sekarang, nanti khiya telepon balik.

********

Sekali lagi Mahesa menggaruk rambutnya dengan kasar saat melihat saldo di rekeningnya tinggal seratus lima puluh ribu, itupun kalau diambil semua hanya bisa seratus, sedang gaji an nya masih satu minggu lagi.

Kalau urusan makan, telur dan beras di kontrakannya masih banyak tapi untuk bensin dan keperluan tidak terduga lainnya tentu tidak cukup. seperti kemarin yang tiba-tiba teman satu divisinya mengajak meeting di luar.

Uang yang seharusnya dikumpul untuk tabungan menikah harus kandas oleh sepiring mie yang Mahesa sendiri tidak terlalu suka dengan rasanya.

Mahesa mengambil kartu ATM dari mesin lalu memasukannya ke dalam dompet yang terdiri dari beberapa kartu.

Ada tiga kartu ATM yang Mahesa siapkan yaitu untuk aliran gajinya, tabungan darurat dan tabungan menikah. Khusus tabungan menikah, uangnya berasal dari sisa kebutuhan Mahesa selama satu bulan.

"Mampir kemana dulu, kok lama?" Tanya Anya saat melihat Mahesa kembali ke ruangannya

"Mushola" untuk hari ini Mahesa tidak jadi mencari makan siang karena minimnya saldo ATM, lantas merutuki diri tidak membawa bekal berdalih sibuk, padahal menggoreng telur tidak memakan banyak waktu.

"Americano and bbq beef burger" Anya meletakan satu persatu sajian itu di meja Mahesa yang membuat pemiliknya melongo.

"Buat gue?"

"Buat cicak yang ada di belakang lo?" Mahesa menoleh, memang ada cicaknya.

"Ya buat lo lah. Makan. Gue ada promo buy 1 get 1 jadi lumayan bisa sedekah" saat mendengar promo, Mahesa tersenyum tulus

"Thanks ya Nya" Anya menggeser kursi miliknya untuk di sejajarkan dengan Mahesa yang saat ini fokus makan.

"Lo tinggal berkas yang dari pak Ragil itu kan?" Mahesa mengangguk

"Bentar lagi beres" Mahesa melirik Anya sekilas "udah beres PT Inko?"

"Udah gue kirim lewat email" ini yang Mahesa suka dari Anya, meskipun bawel dan banyak ngeluh, Anya selalu bekerja dengan cepat dan teliti.

"Gampang lah yang PT Inko, sambil haha hihi aja langsung beres"

Mahesa tidak menyahut karena mulutnya penuh dengan burger

"Hes"

"Hm" Mahesa kembali menoleh sekilas

"Nonton yuk?"

"Sambil ada yang mau gue beli"

Kunyahan Mahesa memelan seiring membayangkan pergi ke Mall membeli tiket bioskop lalu makan.  Mahesa tidak mungkin minta traktir Anya kan?

"Dia batalin lagi Hes, sayangkan tiketnya" lagi. pacarnya Anya membatalkan janjinya. Dan lagi Mahesa menjadi tamengnya, apalagi Anya sudah memberikan makanan dan minuman.

"Mau ya?"

"Sebelum kesana mampir pecel pak maman"




TBC

Titik Balik (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang