Happy reading♡
Athala berjalan lunglai menuju kelas untuk mengambil tasnya, satu jam berada di ruang BK benar-benar membuat dirinya kesal. Untung saja guru-guru tidak memanggil orang tuanya kesekolah, namun hal itu tidak bisa menjamin setelah ini ia akan tetap baik-baik saja.
Athala mengernyit setelah sampai di depan kelas. Saat ini keadaan kelas sudah begitu sepi, hanya menyisakan tas miliknya yang masih tergeletak di atas meja. Ia mengambil tasnya, kemudian berjalan cepat menuju parkiran. Ia berharap Rafka tidak meninggalkan dirinya, sebab ia tidak mau pulang jalan kaki lantaran jarak rumahnya dan sekolah lumayan jauh.
Namun lagi-lagi ia kembali di tampar oleh kenyataan, parkiran sudah begitu sepi hanya menyisakan satu mobil milik kepala sekolahnya. Athala mendengus kesal, saat ini ia bahkan tidak memiliki uang sepeserpun untuk naik taksi.
Athala merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Ia menelfon supir di rumahnya, namun tidak terjawab.
Tidak ingin menyerah, Athala mencoba menghubungi Agatha.
"Ta, jemput gue di sekolah!"
"Gue lagi sibuk!"
Tut..Tut...
Panggilan terputus sepihak oleh Agatha. Athala membuang nafas kasar. Dengan terpaksa ia mulai berjalan kaki, meski harus dengan menahan rasa nyeri di kakinya akibat luka yang diciptakan Mario kemarin.
Dalam setiap langkahnya ia tak berhenti mengumpat, ia masih tidak habis fikir Rafka bisa setega ini meninggalkan dirinya di sekolah. Di pinggir jalan banyak orang-orang yang memandangnya dengan tatapan remeh saat melihat ia berjalan dengan kaki sedikit pincang, namun Athala tidak memperdulikannya.
Kini hari sudah semakin sore, suara petir pun mulai terdengar, sepertinya hujan akan segera menyirami tanah perindunya. Athala sedikit mempercepat langkahnya berharap bisa lebih cepat sampai di rumah. Namun, kenyataannya jarak rumah masih lumayan jauh dari keberadaannya saat ini. Ia sangat berharap ada orang baik yang mau mengangkut dirinya.
Tak lama hujan turun begitu deras, membuat ia terpaksa berteduh di halte bus. Sesekali matanya melirik ke jam tangan yang ada di pergelangan tangannya, kini jam sudah menunjukkan pukul tuju belas lebih. Athala mengosokkan kedua tangnya untuk meraih ke hangatan, pasalnya udara saat ini benar-benar terasa dingin.
Gadis itu menatap kosong ke arah tetesan hujan di atas aspal, perlahan nalurinya membawa ia sadar pada nasibnya saat ini. Tidak ada orang yang ingin mencarinya, bahkan tidak ada tanda-tanda Rafka akan menghubungi dirinya, ia yakin Cowok itu marah karena tau ia telah membuat Serin pingsan hingga berakhir mendapat panggilan ke ruang BK. Selama ini Rafka tidak pernah berhenti mengingatkan dirinya agar tidak lagi menyakiti orang lain, dan bertindak seenaknya. Namun Athala masih sering melanggarnya, ia punya alasan sendiri untuk tidak berhenti. Sebuah alasan yang tidak satu orang pun tau kecuali dirinya sendiri dan....
Athala meremas dadanya yang tiba-tiba terasa sesak, oksigen di sekitarnya seakan berkurang. Bulir air mata jatuh bebas tanpa pamit, Athala semakin kuat meremas dadanya yang begitu sesak. Dia benar-benar merutuki dirinya sendiri karna lupa tidak membawa obat hisap yang selama ini sudah menjadi tiang kehidupannya.
"Tuhan! Ini sakit...." lirihnya pelan. Perlahan pandangannya mulai memburam. Kepalanya terasa begitu pusing, ia tak kuasa lagi menahan rasa sesak di dadanya.
****
"Udah bangun, La?" Suara itu terdengar tidak asing di telinga Athala. Perlahan gadis itu membuka mata, ia mengerjab beberapa kali menyesuaikan cahaya di sekitarnya. Athala memijat-mijat keningnya yang masih terasa pusing,
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHALA MISERY
Teen Fiction"Gue gila!" "Gue bodoh!" "GUE NGGAK BERGUNA!" jeritnya keras. Bibirnya tersenyum hambar, meskipun matanya tak berhenti mengeluarkan air mata. Ia merasakan sesak yang begitu dasyat di dadanya. Dan lagi-lagi darah kembali mengalir dari hidungnya, Ia b...