38. (ATHALA)

9 3 0
                                    

Mau sebaik apa seseorang terhadap kita, akan ada saatnya mereka berubah.
A
T
H
A
L
A
●•••••●


"Masuk aja! Udah di tunggu Pak Kepsek di dalem," ujar Pak Agus mempersilkan Athala.

Athala hanya mengangguk sekilas, kemudian tangannya beralih membuka pintu ruang Kepala Sekolah. Gadis itu tanpa ragu memasuki ruangan tersebut dan meninggalkan Pak Agus di luar.

"Permisi, Pak!" ucap Athala pada Pak Kepsek (Kepala Sekolah) yang nampaknya memang sudah menunggu kehadirannya.

Pak Kepsek mengangguk, kemudian mempersilakan Athala untuk duduk di kursi yang ada di depannya.

Setelah mendudukkan dirinya, Athala nampak gelisah. Ia yakin kasus pemerkosaan tiga tahun yang lalu sudah sampai di telinga Pak Kepsek, sehingga guru berpangkat tinggi itu memanggilnya saat ini.

"Langsung saja, Ya!" Pak Kepsek memulai pembicaraan. Sedangkan Athala hanya menangguk sebagai respon.

"Saya dapat kabar dari teman-teman kamu, katanya kamu pernah jadi korban pemerkosaan, benar?" tanya Pak Kepsek secara lugas.

Athala menghela nafas pelan, benar dugaannya. Pasti teman-temannya sudah mengadukan kasus ini pada Pak Kepala Sekolah. Sebenarnya ia tidak masalah jika semua orang di sekolah ini tau, hanya saja ia takut Mario marah karena kasus itu bisa saja membuat reputasi Papanya menurun.

"Iya, Pak!" jawab Athala tegas.

Terdengar helaan nafas dari Pak Kepsek. Guru laki-laki bekumis tipis itu sepertinya sedikit kecewa dengan jawaban Athala. Bagaimana pun Athala adalah salah satu siswi berprestasi di sekolah ini, jadi sayang sekali jika gadis itu pernah mengalami kasus tersebut.

"Lalu apakah benar kamu punya gangguan mental?" Pak Kepsek kembali bertanya.

Athala menelan ludahnya susah payah. Pertanyaan ini sungguh membuatnya sedikit takut untuk menghiakan. Untung sebagian orang, pengidap gangguan mental akan di anggap sebagai orang gila. Jadi ia takut Pak Kepsek akan menganggapnya demikian.

"I-iya," jawabnya sedikit ragu.

"Sudah lama?"

"Lima tahun."

Seketika bibir Pak Kepsek terbuka lebar karena merasa tidak percaya mendengar jawaban Athala.

"Serius selama itu?"

Athala mengangguk malas, ia tidak mau bersuara lagi. Sedangkan Pak Kepsek kini menatapnya lekat dengan perasaan iba.

"Athala, saya tidak menyangka kamu punya penyakit psikis seperti itu. Saya juga tidak pernah menyangka kamu adalah korban pelecehan," Ujarnya.

"Saya turut prihatin, saya tahu kamu kuat. Semangat, Ya!" Pak Kepsek membuang nafas pelan, "Tapi jujur, saya sedikit kecewa mendengar kebenaran ini," lanjutnya dengan suara yang terdengar datar.

Athala membenarkan posisi duduknya. Ia tidak perduli dengan apapun yang dikatan Pak Kepsek. Ia sudah terlalu sering mendapat muhasabah seperti itu dari Dokter Gian. Rasanya sangat membosankan, mereka semua tidak pernah tau apa yang ia rasakan.
Sebenarnya orang seperti ia tidak butuh sekedar ucapan penyemangat.Karena kata-kata semangat dan sabar sama sekali tidak berpengaruh untuknya saat ini.

"Terima kasih, Pak!" ucap Athala.

Pak kepsek mengangguk sekilas, "Untung saja kebenaran ini terungkap ketika kamu sebentar lagi lulus."

Athala tersenyum hambar, memang benar apa yang diucapkan Pak Kepsek. Mungkin jika ia tidak pandai menutupi aib-aibnya pasti ia sudah di keluarkan dari sekolah ini.

ATHALA MISERYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang