Tidak ada yang paling menyakitkan dari sebuah perpisahan.
A
T
H
A
L
A
○○○○♡○○○○Pagi ini langit terlihat sendu, awan gelap berputar menutupi sebagian payoda. Cuaca seakan faham dengan apa yang saat ini Athala rasakan, air mata terus menetes membasahi kedua pipinya sejak tadi malam.
Daun-daun yang hampir kering satu-persatu gugur bersama tiupan angin yang menggoyangkan kibaran bendera kuning di depan rumah Athala.
Lantunan ayat suci mendominasi setiap indra pendengaran manusia yang ada di sini. Bahkan suara tangis dari teman-teman Agatha juga ikut mendominasi keadaan rumah ini yang terkesan pilu.
Athala yang berada di dalam pelukan Bik Ijah seketika berdiri ketika melihat kehadiran Erna. Wanita itu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, membuat Athala langsung berlari ke arahnya. Namun, bukanlah pelukan yang ia dapat, justru Erna malah mendorong kasar tubuh Athala hingga gadis itu terpental ke lantai.
Kini posisi mereka berada di kamar Athala yang berada dilantai dua. Sejak tadi kondisi Athala benar-benar drop, hingga gadis itu tidak mampu untuk sekedar melihat jenazah Mario dan Agatha yang baru saja dimandikan.
Athala menatap sendu ke arah Erna. Ia kira Erna akan berubah, namun rasannya semua masih sama. Athala kembali berdiri dibantu oleh Bik Ijah.
"Ma... jangan tinggalin Athala lagi, Athala udah nggak punya siapa-siapa," mohonnya dengan air mata yang terus mengalir di kedua pipinya.
"Mulai sekarang jangan panggil saya Mama... Anggap kamu sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini!" cecar Erna dengan nada tinggi. Mendegarnya tentu membuat hati Athala terasa nyeri.
Athala menggeleng cepat, ia tidak habis fikir dengan ucapan yang Erna lontarkan tadi. Dalam keadaan seperti ini seharusnya Erna menguatkan dirinya, bukan malah melucutinya dengan perkataan-perkataan menyakitkan semacam itu. Sebenar di mana letak akal sehat wanita itun, Athala benar-benar tidak tahu lagi dengan jalan fikiran Erna.
"Maafin Athala, Ma! Athala butuh Mama, Athala nggak punya siapa-siapa lagi..." Athala berusaha meraih tangan Erna, namun segera ditepis oleh sang empu.
"Jika saya tidak menghargai Papa kamu yang sudah menghidupi saya selama ini, saya tidak akan sudi menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Saya sudah muak! dengan semua yang berhubungan dengan rumah ini, termasuk kamu!" Erna menunjuk ke arah Athala dengan tatapan tajam. Wanita itu kemudian merogoh tasnya, ia mengambil sebuah map yang di dalamnya terdapat satu lembar kertas dan pulpen.
"Tanda tangani ini!" titahnya seraya menyodorkan kertas tersebut beserta pulpen yang sudah ia siapkan.
Athala menatap kertas itu cukup lama, setelah itu ia kembali menatap ke arah Erna dengan senyuman kecut di bibirnya. Tidak mau membuang-buang waktu, akhirnya Athala memilih untuk segera menandatangani kertas tersebut, selembar kertas yang berisi surat pengalihan hak milik perusahaan.
Erna tersenyum merekah ketika Athala mau dengan mudah menandatangani surat pengalihan hak milik perusahaan yang Mario rintis dari nol. Setelah ini perusahaan itu akan resmi menjadi miliknya.
Dengan kasar Athala melempar kertas itu pada Mamanya. Selalu saja uang-uang dan uang yang ada di otak Mamanya, dalam keadaan berduka seperti ini masih sempat-sempatnya wanita itu memikirkan harta peninggalan Mario.
"Sekarang adil, kamu dapat rumah, dan saya dapat perusahaan," ujar Erna tanpa rasa bersalah sedikit pun. Mendengarnya membuat Athala merasa jijik seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHALA MISERY
Teen Fiction"Gue gila!" "Gue bodoh!" "GUE NGGAK BERGUNA!" jeritnya keras. Bibirnya tersenyum hambar, meskipun matanya tak berhenti mengeluarkan air mata. Ia merasakan sesak yang begitu dasyat di dadanya. Dan lagi-lagi darah kembali mengalir dari hidungnya, Ia b...