Teruslah tersenyum, setidaknya kamu akan terlihat hebat untuk dirimu sendiri.
A
T
H
A
L
A
•••••••Athala menghentikan laju motornya di parkiran rumah sakit. Gadis itu kemudian melepas helem yang melekat pada kepalanya. Matanya kini menatap nanar kearah gedung Rumah Sakit yang begitu besar. Ia menarik nafas dalam kemudian membuangnya, mau tak mau hari ini ia harus bertemu Dokter Gian untuk melakukan psikoterapi.
Selama Enam tahun ini Athala menjalani psikoterapi bersama Dokter Gian, ia melakukannya secara terpaksa atas dorongan kuat dari Dokter Gian. Jujur Athala sangat jengkel dengan keadaan mentalnya yang sudah babak belur seperti ini, karena setiap bulan ia harus menjalani terapi, bahkan setiap hari ia harus meminum obat-obatan yang di sarankan oleh Dokter Gian. Dan itu semua benar-benar memuakkan bagi Athala.
Tidak mau membuang-buang waktu, Athala langsung saja bangkit dari motornya, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Gadis itu menyusuri setiap lorong rumah sakit, dan melewati puluhan pintu hingga pada akhirnya ia tiba pada pintu yang di depannya tertulis nama Giane Aldairus.
Tanpa ragu Athala membuka pintu bercat putih itu dengan sedikit dorongan hingga pintu tersebut sepenuhnya terbuka. Kini yang pertama kali ia lihat ada wajah seorang pria tampan dengan jaz putih yang melekat pada tubuh kekarnya. Pria dengan tubuh tinggi dan hidung mancung itu masih terlihat seperti remaja Dua Puluh Lima tahunan, menurut Athala Dokter Gian memang tidak bisa berubah, dari pertama ia bertemu wajah Dokter Gian tidak pernah menunjukkan pertambahan usia.
Athala tersenyum sekilas, "Selamat siang, Dok!" Sapanya, kemudian mendudukan diri pada kursi yang sudah disediakan tepat di depan meja kebesaran milik Dokter Gian.
"Selamat siang kembali, Athala. Akhirnya kamu datang juga, ini sudah lebih satu minggu dari jadwal yang sudah di terapkan. Saya sangat kawatir jika terjadi sesuatu dengan dirimu." Ucap Dokter Gian, pria berusia Tiga Puluh tahun itu terkekeh pelan di akhir kalimatnya. Namun, Athala hanya tersenyum sekilas setelah mendengar ucapan Dokter Gian. Dokter Gian yang merasa tidak mendapat tanggapan lebih dari Athala lagi-lagi hanya tersenyum. Ia sudah sangat hafal dengan Athala, gadis itu tidak suka terlalu berbasa-basi.
"Bagaimana keadaanmu akhir-akhir ini? Apakah cukup membaik? Sehingga kamu lupa untuk datang kemari." Tanya Dokter Gian, dengan sedikit menyindir, membut Athala membuang nafas kasar.
"Semuanya sangat melelahkan." Jawabnya datar.
Dokter Gian mengernyit, "apa kamu ingin menyerah?"
"Mungkin itu lebih baik." Athala menjawab dengan santai, raut wajahnya terlihat begitu datar, tatapanya kosong kearah depan. Saat ini dapat terlihat jelas jika gadis ini memang benar-benar lelah dengan semuanya.
Dokter Gian menggeleng. "Tidak! Itu bukan hal yang benar, kamu tidak boleh menyerah, Athala."
"Tapi Papa pengen aku mati, Dok!" Sentaknya, emosinya kembali tidak terkontrol, dadanya naik turun tak beraturan. Athala memejamkan mata kemudian mengatur nafasnya yang semakin abnormal.
Dokter Gian dengan sigap menggenggam tangan Athala, kemudian mengintruksi gadis itu untuk menarik nafas secara perlahan kemudian membuangnya.
Setelah Athala mulai tenang, Dokter Gian melepas genggamannya pada tangan Athala. "Aman?" Tanyanya lembut, kemudian gadis itu nampak mengangguk sekilas.
Dokter Gian membuang nafas lega. "Kendalikan emosimu, jangan sampai kamu diperbudak oleh emosimu sendiri." Pesannya.
Lagi-lagi Athala mengangguk. "Baik, Dok!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHALA MISERY
Teen Fiction"Gue gila!" "Gue bodoh!" "GUE NGGAK BERGUNA!" jeritnya keras. Bibirnya tersenyum hambar, meskipun matanya tak berhenti mengeluarkan air mata. Ia merasakan sesak yang begitu dasyat di dadanya. Dan lagi-lagi darah kembali mengalir dari hidungnya, Ia b...