Manusia hanya bisa menghakimi, tanpa ingin mencari tahu apa yang terjadi.
Rafka menghentikan motornya tepat di dalam garansi, cowok itu baru saja pulang dari apartemen. Tadi sebelum pulang ke rumah ia menyempatkan diri untuk mengambil motornya yang masih stay di parkiran Holywings dari semalam.
Cowok itu kemudian melangkah masuk ke dalam rumahnya. Namu, baru saja melewati pintu utama, matanya langsung disuguhkan dengan dua koper besar yang berada di ruang tamu. Rafka menghentikan langkahnya di samping sofa, dan tak lama dua orang pemilik koper tersebut keluar dari arah ruang tengah, mereka berdua sudah terlihat sangat rapi. Rafka mengernyit heran, pasalnya baru kemarin orang tuanya pulang, dan sekarang apakah mereka akan pergi lagi?
"Kalian mau kemana?" tanya Rafka dengan raut wajah penuh pertanyaan.
Riana tersenyum, kemudian mendekat ke arah putranya, "Mama sama Papa mau balik ke Jogja. Kita nggak bisa ninggalin bisnis terlalu lama, karena omset menurun derastis," ujar Riana.
Rafka tersenyum kecut mendengar ucapan mamanya, ia tidak menyangka jika kedua orang tuanya akan lebih mementingkan bisnis dari pada dirinya. Bahkan kematian Sahla baru lewat dua hari, dan sekarang mereka sudah mau kembali ke Jogja. Sungguh, Rafka tidak tau lagi letak pemikiran mereka ada di mana. Selama ini mereka berdua juga jarang sekali menjenguk Sahla di rumah sakit, Rafka sudah sering kali menelfon orang tuanya agar pulang untuk menjenguk ke adaan Sahla, namun Papanya selalu bilang bisnisnya sedang tidak bisa di tinggal.
"Nggak bisa di tunggu seminggu lagi?" protes Rafka dengan raut wajah datar tanpa ekspresi.
"Nggak bisa!" sela hendra. Pria berkumis itu mendekat, kemudian ia menyodorkan amplop coklat pada putranya. Rafka sudah tau apa isinya, hanya melirik sekilas kemudian membuang muka ke arah lain.
Hendra menggeram marah melihat tingkah Rafka yang seakan menyepelekan dirinya. "Kamu nggak mau?!" tanyanya dengan nada tinggi.
"Rafka cuma butuh kalian nemenin Rafka sampe tuju harinya Kakak, Pa!"
"Nggak bisa, Rafka!"
"Oke, terserah kalian!" putus Rafka. Ia sudah malas meladeni ego Papanya, pria itu tidak akan pernah mau menuruti apa maunya. Hendra memang tipe orang yang tempramental, apapun yang ia sudah ia putuskan tidak akan bisa di bantah oleh siapapun, termasuk putranya sendiri.
"Maafkan Mama, sayang! Kami kerja juga buat kamu," kini Riana mencoba untuk memberi pengertian. Wanita pertama yang sangat Rafka sayangi ini memang selalu bersikap lembut pada anak-anaknya.
Lagi-lagi Rafka tersenyum kecut mendengar ucapan Riana. Memang benar, selama ini Rafka selalu hidup bergelimang harta, apapun yanh ia inginkan pasti dibelikan. Tapi bukan iti yang ia inginkan, bagi Rafka harta tidak bisa menjamin kebahagiaan, yang ia mau hanyalah kasih sayang dari mereka. "Rafka jadi gembel juga nggak masalah, asalkan kalian selalu ada di samping Rafka, Ma!" bantahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHALA MISERY
Jugendliteratur"Gue gila!" "Gue bodoh!" "GUE NGGAK BERGUNA!" jeritnya keras. Bibirnya tersenyum hambar, meskipun matanya tak berhenti mengeluarkan air mata. Ia merasakan sesak yang begitu dasyat di dadanya. Dan lagi-lagi darah kembali mengalir dari hidungnya, Ia b...