"Jika tidak ada yang memintamu untuk bertahan, maka bertahanlah untuk dirimu sendiri."
A
T
H
A
L
A
•••••••Sudah satu jam gadis ini mengaduk minuman di depannya dengan tatapan kosong. Athala termenung seorang diri di dalam sebuah cafe yang hanya menyediakan minuman dan makanan ringan. Cafe ini adalah salah satu tempat yang sering ia datangi bersama Rafka.
Cafe terbuka yang sengaja didisain tanpa atap, dan lampu led berwarna kuning yang mengitari setiap sudut cafe. Di tempat ini juga memiliki suasana yang damai, karena lokasinya terletak tepat di pinggir laut. Dan cafe ini juga tidak terlalu ramai oleh pengunjung, hal itu yang membuat Athala senang ketika menghabiskan waktu di tempat ini.
Suara deburan ombak yang menghantam bebatuan di bawah sana membuat Athala semakin hanyut dalam ketenangan. Sejak tadi gadis itu hanya mengaduk-ngaduk chocolate drink di tangannya dengan tatapan kosong. Sebelum sebuah suara berhasil mengalihkan atensinya. Athala sontak menoleh kearah kanan, ketika mendengar derap langkah sepasang manusia berbeda jenis yang sepertinya baru saja datang. Ia merasa tak asing dengan wanita yang tengah menggandeng tangan seorang pria yang sepertinya usianya lebih muda dari wanita itu.
Athala menajamkan kedua matanya, ia tidak salah lagi, yang saat ini ia lihat adalah Erna, Mamanya. Namun, yang membuat Athala heran adalah pria di samping Erna. Pria itu terlihat jauh lebih muda dari Mamanya, tetapi jika dilihat dari kedekatan mereka berdua, sepertinya mereka memiliki hubungan khusus.
Athala dengan cepat memakai kupluk hoodienya, kemudian kembali mengubah posisinya seperti semula agar Erna tidak mengetahui keberadaannya. Jujur Athala ingin sekali menghampiri mereka berdua, tetapi nyalinya menciut ketika mengingat betapa kejamnya Erna saat memberinya hukuman di rumah.
Dari jarak yang lumayan dekat, Athala dapat melihat langsung betapa mesranya Erna dengan pria tersebut. Erna yang kini bergelayut manja di lengan pria itu membuat Athala merasa jijik melihatnya.
Athala masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini, ia berulang kali menampar pipinya berharap semua ini hanya mimpi. Namun apalah daya, kini ia memang benar-benar ditampar oleh kenyataan. Rupanya selama ini Erna memang bermain gila, pantas saja ketika Erna memarahinya di rumah, Athala sering menghirup bau alkohol dari mulut wanita itu.
"Apakah Papa belum tau?" Batin Athala, gadis itu berniat merekamnya, namun keadaan ponselnya yang kehabisan baterai membuatnya terpaksa harus mengurungkan niat.
Athala menatap arloji yang menempel di pergelangan tangannya. Gadis itu memutuskan untuk beranjak dari sana, karena kini jam sudah menunjukkan pukul Dua Puluh malam. Gadis itu menyempatkan diri untuk melirik sekilas kearah di mana Erna dan pria itu duduk. Lagi-lagi Athala bergidik ketika melihat tingkah Erna yang begitu mengelikan baginya. Penampilan Erna memang sangat modis, seperti remaja yang baru berusia Dua Puluh Lima tahun, tapi hal itu tetap tak mengalihkan kebenaran jika wanita itu adalah seorang ibu dari Dua anak.
Athala membuang nafas kasar lalu menggeleng pelan melihat kelakuan Erna. Tak mau mengotori matanya terlalu lama, ia segera beranjak dari tempat itu. Athala berusaha menyingkirkan fikiran tentang apa yang baru saja ia lihat, menurutnya tidak ada gunanya ia memikirkan hal tersebut. Karena mau bagaimanapun ia tidak bisa berbuat apa-apa, sebab Mario ataupun Agatha tidak akan mungkin percaya dengan apa yang ia omongkan. Jadi lebih baik ia diam, biarkan mereka mengetahui semua dengan sendirinya.
Setelah keluar dari Cafe tersebut, Athala langsung mengendarai motornya dan membawa keluar dari area parkiran. Athala menjalankan motor tersebut dengan kecepatan standar, gadis itu sengaja memelankan laju motornya untuk menikmati udara malam yang selalu membuatnya candu. Ia tak pernah bosan menikmati gemerlap lampu kota yang selalu berhasil memanjakan kedua matanya. Bagi Athala melihat gemerlap lampu kota, dan menghirup udara malam adalah suatu hal baru yang berhasil membuat fikirannya merasa tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHALA MISERY
Teen Fiction"Gue gila!" "Gue bodoh!" "GUE NGGAK BERGUNA!" jeritnya keras. Bibirnya tersenyum hambar, meskipun matanya tak berhenti mengeluarkan air mata. Ia merasakan sesak yang begitu dasyat di dadanya. Dan lagi-lagi darah kembali mengalir dari hidungnya, Ia b...