14. »Gejala

58.4K 5.3K 336
                                    

»»Setiap sebab ada akibat««


14. Gejala


"SETAAAAAAN!!

"RAVEN ANAK DAKJAL! ADA SETAN DI RUANGAN ITU!"

"Punya nyawa bisanya cuma digunain untuk berisik!" balas Agraven baru keluar dari kamarnya. Ia berjalan melewati Galva begitu saja.

"Apa kata dia? Gue bisanya cuma berisik? Ya Tuhan ... dia punya mulut kalau ngomong no filter mulu!" gerundel Galva.

"Mending gue suka berisik, dari pada lo suka dosa!" cibir Galva lagi.

Galva kembali masuk ke ruangan yang tadinya ia masuki. Di sana sudah ada Agraven sedang mengganti alas kasur.

Mata Galva melirik ke seluruh ruangan untuk memastikan tidak ada lagi jasad manusia di dalamnya.

"Setan tadi di mana Rav?" Agraven tidak menjawab, ia hanya melihat ke arah balkon yang terhubung dengan taman tempat Elder.

Dengan berlari Galva menuju balkon tersebut. Ia langsung bergidik ngeri melihat Elder yang terlihat oleh pandangannya.

"Nyeremin anjir," gumam Galva. "Gimana kalau gue yang di rawwwrrr!" imbuhnya lagi dengan tangan memperagakan.

"Aaiiisshh! Rav!" Tidak mendapat jawaban dari sang empu nama, Galva membalikkan badannya untuk menghadap ke arah Agraven.

Damn!

Di ruangan itu hanya tersisa dirinya, sedangkan Agraven sudah keluar beberapa saat yang lalu.

"ARRRGGGGHH AGRAVEN BANGSAT!!" Dengan terbirit-birit Galva keluar dari ruangan tersebut.

"Huh huh huh!" Akhirnya Galva sampai di ruang keluarga di rumah besar milik Agraven.

"Mau mati?" Pertanyaan minta disantet keluar begitu saja dari mulut Agraven dengan santai. "Sini gue bantu," lanjutnya.

"Temen minta dicongkel otaknya!" jawab Galva sambil melempar bantal sofa ke wajah Agraven.

Lemparan yang cukup bagus sehingga mengenai tepat di wajah tampan Agraven. Pria tersebut lantas mendelik tajam ke arah Galva.

"Mata lo dulu yang gue congkel!" ketus Agraven. Dengan cepat Galva menyengir.

"Oh iya, gue ke sini mau nanya!" alih Galva supaya tidak mendapat pelajaran dari Agraven.

"Lo nggak kasih tau Ludira atau Kakek tentang degem di sini, Rav?"

"Degem?"

Galva langsung mencibir. "Ini, nih! Manusia hidup di zaman batu, degem aja kagak tau!" ledek Galva terkekeh masam.

"Makanya Rav—aduh! Aw—aadaaauu sakit woi!" Ucapan Galva terpotong karena Agraven menggelintir tangannya ke belakang.

"Ya ampun, Rav! Tangan gue beneran bisa patah ini adoooh!"

"Oke-oke, degem itu dedek gemes—ssaawww awwsshh sakit bego!"

"Gemes gue mau patahin leher lo, Gal!" balas Agraven melepaskan tangan Galva dengan kasar. Pria malang itu terjerembab ke lantai akibat dorongan kuat dari Agraven.

Sialan!

Galva sangat ingin menendang pantat Agraven sekarang juga. Namun, sayangnya ia sampai sekarang belum cukup nyali melakukan itu.

"Gini amat punya temen," ucap Galva meratapi nasib. Ia bangun dari posisinya, lalu duduk di samping Agraven.

"Tadi degem kenapa, Rav?"

AGRAVEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang