16. »Agoraphobia

55.5K 5.1K 212
                                    

»Rasa takut akan selalu ada, walau ia berusaha berani«
~No name~

|
|

»Rasa sedih akan selalu ada, walau aku berusaha bahagia«
~Azalea~

|
|

»Rasa takut dan sedih itu akan tetap ada dan akan tetap abadi pada diri lo. Kalo lo sendiri yang sengaja memendamnya. Begitu juga dengan benci dan dendam «
~Agraven~

16. Agoraphobia



Matahari sudah berganti dengan rembulan. Cahayanya terlihat malu-malu untuk menerangi jagat raya pada malam ini.

Awan hitam itu seperti memperebutkan posisi untuk menutupi si rembulan. Dikit demi sedikit, rembulan mulai tertutupi oleh awan hitam itu.

Langit mulai menjatuhkan tetes demi tetes air. Harum petrikor mulai masuk ke dalam indera penciuman. Beberapa detik berikutnya tetes-tetes air itu semakin deras dan membentuk yang namanya hujan.

Di sebuah rumah besar, lebih tepatnya di sebuah kamar rumah tersebut terdapat dua insan berbeda gender. Hal yang tidak enak di dengar. Dua insan tersebut bukanlah pasangan suami istri, tetapi mereka sedang tidur di satu ranjang.

Salah satu dari mereka tidak lagi tidur, tetapi masih dalam keadaan pingsan. Dia Azalea Kananta.

Yang satunya lagi memang sedang tertidur semenjak satu jam terakhir. Dia Agraven Kasalvori.

Posisi mereka normal saja. Agraven yang tidur membelakangi Aza. Sedangkan Aza dengan posisi nyaman yang diatur oleh Agraven.

Ketukan pintu mengagetkan Agraven. Alhasil pria tersebut langsung terbangun.

Dengan malas ia berjalan untuk membukakan pintu.

"Kenapa?"

"Tuan, Bibi pamit pulang. Non Aza jangan lupa kasih makan, soalnya dari tadi pagi Bibi suruh makan, tapi selalu nolak." Penuturan dari ART rumahnya hanya Agraven respon dengan anggukan.

"Selamat malam, saya pamit."

Agraven kembali masuk. Pria tersebut tidak melanjutkan tidurnya, tetapi ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Setelah selesai dengan urusannya, Agraven turun ke lantai dasar mengambil makan untuk wanitanya.

Wanitanya?

Iya, Agraven memang suka seenaknya.

Pria bertubuh tegap dengan tampang rupawan itu kembali memasuki kamarnya.

Aza belum juga sadar. Agraven sudah berkali-kali memanggil nama Aza, bahkan pria tersebut dengan tega menggores lengan Aza dengan Blaze pisau kesayangannya. Niatnya supaya Aza merasakan perih dan alhasil akan terbangun.

Namun, usaha meresahkannya itu tidak berbuah hasil.

"Lama banget pingsannya," gumam Agraven. Lengan Aza yang tergores oleh Blaze segera ia bersihkan.

Agraven langsung berpikir ke satu arah. Ia teringat sesuatu.

"Apa mungkin ... rasa itu kembali," monolog Agraven menatap wajah polos Aza.

Tidak ingin bergelut dengan pikirannya. Agraven segera mengangkat tubuh ringkih Aza.

Pria tersebut membawa Aza ke mobilnya. Entah ke mana ia akan membawa Aza.

Selama di perjalanan, Agraven tidak melepaskan genggaman tangannya pada tangannya Aza.

Sial!

AGRAVEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang