19. »Naif

50.4K 4.7K 426
                                    

»»Percayalah. Sifat manusia itu layaknya bunglon! Selamanya tidak akan sama. Ada kalanya ia berubah««

19. Naif



"Saya boleh bertanya." Agraven Kasalvori mulai membuka mulutnya untuk bertanya demi meyakinkan sesuatu.

Yang ditanya lantas mendongak. "H-hah?"

"Saya boleh nanya sesuatu?" ulang Agraven bertanya.

"Sejak kapan dia izin dulu sebelum nanya," batin Aza merasa ada yang aneh.

Setelah diam beberapa saat, akhirnya Aza mengangguk.

"Agoraphobia ... kamu pernah alami juga sebelumnya, 'kan?" Aza menutupi rasa keterkejutannya. Dari mana Agraven tau? pikirnya.

"E-enggak--"

"Saya nggak suka dibohongi, Azananta. Kapan?" tuntut Agraven bertanya. Sifat pemaksanya telah kembali.

"K-kapan apa maksud kamu, Kak?"

"Gangguan ...."

"Anxiety disorder ... gangguan kecemasan itu sering kamu alami kapan sebelum akhir-akhir ini?"

Aza terdiam. Bukan bingung mau menjawab apa, tapi ia memang tidak berniat untuk menjawab. Lebih baik dirinya menunduk, menghindari tatapan intimidasi dari Agraven untuknya.

"Aza," panggil Agraven. Intonasinya masih terdengar rendah.

Wanita itu menggeleng dengan kepala yang masih menunduk.

"Jawab pertanyaan saya atau saya perkosa, hm?"

Aza langsung mendongak dengan raut wajah panik. Cukup malam itu Agraven menyakitinya, tidak akan lagi. Bayangan saat Agraven menyetubuhinya membuat Aza bergidik. Sungguh ia tidak menginginkan hal itu lagi terjadi.

"Masih belum jawab, huh?" Agraven mendekatkan wajahnya dengan wajah Aza, refleks wanita itu melotot dan menggeleng.

"J-jangan, aku mohon jangan lakukan itu lagi. Cukup," lirih Aza memohon.

Melihat wanitanya ketakutan Agraven menghela napas, ia kembali menjauhkan wajahnya dari wajah Aza yang berjarak hanya beberapa senti saja. Tangannya terangkat untuk mengusap rambut panjang Aza dengan lembut.

"Jawablah," pintanya lagi.

Mau tidak mau Aza harus menjawab. Sepertinya percuma jika ia berbohong.

"Umur tujuh tahun sampai sepuluh tahun. Aza ngalamin itu selama tiga tahun."

Agraven terlihat kaget mendengar jawaban Aza. Namun, dengan cepat ia mengubah ekspresi wajahnya.

"Karena apa dan penyebabnya apa?" Pertanyaan yang sebenarnya sudah tau jawabannya, tapi ia ingin mendengarnya sendiri dari mulut Aza dan untuk meyakinkan sesuatu.

Harusnya ia membantu Aza melupakan ketakutan, kecemasan itu, tetapi ia justru mengingatkan kembali kejadian itu.

"T-takut ... takut, Kak ...."

"Jangan takut," ucap Agraven terlewat santai. Ia beralih tempat duduk menjadi di samping Aza yang sedang bersandar di kepala ranjang. Tangannya merangkul bahu Aza, otomatis kepala wanita itu bersandar di bahunya.

"Takut, Kak ... di depan mata Aza Mama sama Papa--"

"Ssttt, udah. Nggak perlu dilanjutkan dan ... maaf." Agraven langsung membungkam bibir Aza dengan telunjuknya. Ia tidak ingin mendengar kelanjutan cerita Aza. Ia sudah tau kelanjutannya apa.

AGRAVEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang