25. Idrak

42.5K 4.4K 397
                                    


.
.
.
.

25. Idrak [Dalam keadaan merasakan, mengetahui, sesuatu dari akal dan batin .
.
.

Tok tok tok

Agraven meninggalkan mayat Ardi begitu saja. Ia tidak peduli dengan darah yang ada di bajunya. Karena ketukan pintu itu seperti menuntut.

Dengan kesal ia berjalan untuk membuka pintu.

Cklkk

Setelah pintu terbuka, Agraven langsung melihat siapa si pengetuk.

Deg

"KAK AGRAVEN!"

Grep

Tubuh Agraven sedikit terhuyung ke belakang karena belum siap menerima serangan tiba-tiba berupa pelukan dari Aza.

"Kak hiks ... di k-kamar ada d-darah ...."

Agraven langsung tersadar dari lamunannya. Ia segera menenggelamkan wajah Aza yang ketakutan ke depan dadanya.

Baru saja Aza ingin mendongak, tapi Agraven lebih dulu menahan kepalanya dengan usapan menenangkan di puncak kepalanya.

Sebenarnya hal itu dilakukan Agraven untuk mengalihkan perhatian Aza. Ia tidak akan membiarkan Aza melihat apa yang ada di dalam ruangannya sekarang.

"Enggak usah takut. Itu darah nyamuk yang jadi beban dunia." Agraven menjawab dengan jawaban yang tidak masuk akal.

"B-banyak, Kak. Berceceran di lantai ...."

"Nyamuknya besar, Za."

"Jangan dipikirin, jangan diingat, sekarang istirahat," lanjut Agraven. Kepala Aza menggeleng kuat di dadanya.

"T-takut," cicit Aza.

Agraven terkekeh kecil saat merasakan pergerakan Aza di dadanya. Tak henti-hentinya kepala Aza ia usap. Tidak peduli sang empu masih sesenggukan menangis.

"Pindah kamar," pungkas Agraven.

Mendengar itu mata Aza melotot. Jadi kamarnya nggak hanya satu? Pikir Aza.

Aza itu naif. Mana mungkin rumah rasa istana itu hanya memiliki satu kamar saja.

Agraven pernah membohonginya dan Aza   langsung percaya begitu saja.

"Kak Agra jangan tidur di sini," cicit Aza menunduk.

"Ini kamar saya," jawab Agraven singkat.

"Ya udah Aza yang pindah." Aza baru saja ingin melangkah keluar kamar, tapi lengannya langsung ditahan oleh Agraven.

"Di sini cuma ada dua kamar. Yang satu lagi buat tempat saya musnahin sampah. Kamu tau, kan, isinya apa aja?"

Aza langsung bergidik ngeri. Kepalanya langsung menggeleng cepat.

"Sana tidur. Saya akan di sofa lagi," ungkap Agraven dengan menekankan kata lagi.

"Jadi kamarnya nggak cuma dua--"

"Banyak. Kamu bebas pilih," potong Agraven. Tangan kirinya diam-diam menarik knop pintu dan menutupnya.

Aza tidak lagi menangis, bahkan keadaannya sekarang sudah jauh lebih baik.

Agraven membawa Aza ke sebuah kamar yang belum pernah ditempati seorang pun selama rumah itu dibangun.

Cklkk

"Istirahat, Za. Saya mau bersih-bersih dulu, sampahnya belum dibuang," kata Agraven saat pintu kamar itu terbuka.

AGRAVEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang