7. »Apoch

63K 5.7K 244
                                    

»»Masa lalu memang selalu berdampak. Baik menjadi sebuah pelajaran, ataupun sebuah dendam««

7. Apoch [Sebuah masa dalam kehidupan]




Ctaarrr

Suara sebuah cambuk beradu dengan kulit. Siapapun yang mendengarnya akan bergidik ngeri, bahkan ikut merasakan rasa sakit jika melihatnya.

"Andaikan sejak awal anda berguna menjadi seorang Ayah ...." Agraven Kasalvori sudah gelap mata menyiksa seorang laki-laki paruh baya yang menurutnya sampah. Hal seperti ini sering Agraven lakukan dan ia sebut sebagai kegiatan pemusnahan sampah.

Pyar

Blaze si pisau kesayangan Agraven mendarat di sebuah cermin yang terdapat di ruangannya. Alhasil, cermin lebar itu hancur tak berbentuk.

Tangan kokoh Agraven menggenggam salah satu pecahan kaca cermin yang baru saja pecah. Tangannya mengeluarkan darah akibat terkena goresan kaca. Namun, Agraven seakan-akan tidak merasakan bahwa tangannya sedang terluka.

Wajahnya tetap datar. Perlahan kakinya kembali melangkah menuju pria paruh baya yang sedang diambang kematian.

"Anda tidak akan pernah bisa merasakan apa yang anak anda rasakan akibat ketamakan yang anda perbuat!" Dengan tidak ada rasa iba sedikitpun Agraven menancapkan serpihan kaca yang ia genggam tepat pada pipi, lalu berpindah ke kerongkongan temannya bermain, err lebih tepat pada mainannya.

Pria paruh baya itu nampak tercekat. Ia ingin terlepas, tapi peluangnya untuk bebas sangat mustahil.

Agraven menancapkan Blaze tepat mengenai jantung pria itu, detik berikutnya napas itu berhenti berhembus.

Melihat targetnya sudah tidak bernyawa, Agraven mendengus kesal. Kali ini ia begitu cepat dalam bermain. Hal itu dikarenakan, Agraven masih belum bisa meredamkan emosinya. Perkataan Ludira tadi siang masih terngiang-ngiang di kepalanya.

Laki-laki tampan itu berjongkok di samping tubuh kaku korbannya. Mata tajamnya memperhatikan setiap inci maha karyanya yang ia ciptakan di sana. Ia cukup merasa puas karena telah berhasil membayangkan pria di depannya saat ini adalah salah satu orang yang amat dibencinya seumur hidup.

Kilatan ingatan yang sangat memuakkan bagi Agraven, terlintas begitu saja dipikirannya.

"Anak penipu, haha!"

"Heh, Raven! Ngapain ke sini? Mendingan kamu ikut orangtua-"

"Aku mau sekolah."

"Hahaha! Orang kayak kamu dan kakakmu itu nggak pantas sekolah di sini! Mendingan kamu ngamen di jalanan. Lumayan buat nambah biaya hidup!" Agraven hanya menunduk tidak menjawab.

"Dasar anak koruptor! Penipu!"

"Mama Papa Raven ada, kok, di rumah. Mereka bukan penipu!" sanggah Agraven

"Liat, tuh! Mama papanya nggak jelas, makanya anaknya ikutan nggak jelas!!"

"Stop! Kalian nggak boleh gitu!" sela seorang gadis merangkul Agraven kecil. Ia baru saja datang dari kelasnya.

AGRAVEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang