Sesampainya di rumah, Amadhea menempelkan piagam peringkat 1 miliknya di dinding. Ada banyak piagam, medali, dan piala di dinding dan di lemari. Amadhea termasuk murid yang berprestasi meski pun ia memiliki banyak tekanan dan suka melamun.
Sudah diumumkan oleh pihak sekolah bahwa liburan akhir semester pertama akan berlangsung selama 1 minggu.
Amadhea tidak pergi berlibur seperti murid lainnya. Ia hanya tinggal di rumah. Gadis itu sesekali keluar hanya untuk membeli bahan dapur. Itu pun kadang bersama Irma atau salah satu temannya yang juga tidak pergi berlibur.
Semenjak Amadhea ditemukan pingsan, Irma sering datang ke rumah gadis itu untuk memastikan apakah Amadhea baik-baik saja. Ia juga sering membawa makanan untuk gadis muda itu. Amadhea sangat berterima kasih untuk itu.
Suatu hari, Irma membawa satu mangkuk bubur kacang ijo. Ia ingin membaginya pada Amadhea sehingga ia datang dan mengetuk pintu rumah tua itu.
"Assalamualaikum, permisi."
Tidak ada jawaban.
Sekali lagi Irma mengetuk pintu. "Permisi? Dhea?"
Pintu dibuka oleh Amadhea. Gadis itu tampak memakai baju putih panjang menyerupai daster. Irma merasa heran. Tidak biasanya Amadhea memakai pakaian seperti itu.
"Tante memasak bubur kacang ijo. Karena kebanyakan, jadi Tante mau membaginya dengan kamu," kata Irma.
Amadhea tidak menjawab. Ia tampak menatap kosong.
Terdengar suara pintu gerbang dibuka. Irma menoleh ke gerbang. Wanita paruh baya itu terkejut melihat Amadhea yang tampaknya baru datang dari suatu tempat. Gadis itu membawa tas belanjaan.
Irma menoleh ke pintu, tidak ada siapa-siapa di sana. Ia kembali melihat pada Amadhea yang berjalan memasuki pelataran rumah.
Melihat kehadiran Irma, Amadhea tersenyum. "Tante?"
Irma juga tersenyum kaku. "Dhe-Dhea... kamu dari mana?"
"Handphone-ku rusak, jadi tadi aku membeli handphone baru," jawab Amadhea sambil menunjukkan kantong belanjaannya.
"Oh." Irma mengangguk mengerti.
Amadhea mengeluarkan kunci dari tasnya kemudian membuka pintu. "Ayo masuk, Tante."
Irma melihat sekelebat bayangan lewat di salah satu ruangan. Ia masih berpikir positif. Mungkin hanya halusinasinya saja.
Tidak hanya Amadhea, selama Irma datang ke rumah tua itu, ia juga merasakan kehadiran sosok lain yang sudah pasti bukan manusia. Beberapa kali ia melihat penampakan yang buram lewat di depannya.
Sebenarnya orang tua Amadhea sudah tinggal lebih dulu di daerah tersebut dan menempati rumah tua itu. Lalu keluarga Burhan membeli tanah di samping rumah tua itu lalu membangun rumah di sana. Namun, kedua tetangga itu tidak terlalu akrab. Bukan berarti bermusuhan, tapi keluarga Sudarman sangat tertutup dan jarang berinteraksi dengan tetangganya.
Amadhea lahir dan dibesarkan di rumah tua itu oleh Sudarman dan Ayuni. Hanya gadis itu satu-satunya putri dari Sudarman dan Ayuni.
Empat bulan yang lalu, Sudarman dan Ayuni mengalami kecelakaan dan mereka dinyatakan meninggal dunia. Merlin yang merupakan adiknya Sudarman sangat serakah. Setelah kematian kakak dan kakak iparnya, ia mengambil hampir setengah harta peninggalan Sudarman. Ia tidak memperhatikan Amadhea apalagi merawatnya.
Amadhea tidak memiliki siapa pun untuk dijadikan tempat bernaung. Hanya rumah tua itu yang dimilikinya.
Setidaknya itu yang diketahui oleh Irma dan para tetangga lainnya. Mereka sangat bersimpati pada Amadhea.
Hari ini Irma melihat Amadhea membuang sesuatu berwarna merah ke tong sampah di dapur. Irma penasaran. Ia melihatnya ternyata itu adalah krayon berwarna merah. Di dalam tong sampah itu sudah menumpuk krayon berwarna merah semua.
"Dhea?"
Amadhea menoleh. "Iya, Tante?"
"Krayon-krayon ini masih terlihat bagus, kenapa dibuang?" tanya Irma.
Amadhea tampak berpikir. "Itu sudah lama tidak digunakan."
"Oh."
Amadhea menyajikan dua gelas jus jeruk ke meja. Ia juga membawa 3 toples camilan.
"Wah, apakah itu bubur kacang ijo?" Amadhea melihat mangkuk di meja yang tadi dibawa Irma.
"Iya, kamu suka?" Irma menyodorkan mangkuk tersebut ke depan Amadhea.
"Aku suka, Tante. Terima kasih." Amadhea mengambil sendok kemudian mencobanya. "Emmm, lezaaat."
Irma tersenyum. "Syukurlah kalau kamu suka."
Telepon rumah berdering. Amadhea beranjak dari tempat duduknya. "Sepertinya Tante Merlin menelepon, sebentar ya, Tante."
Irma mengangguk.
Amadhea pun berlalu mengangkat telepon yang jaraknya tidak jauh dari ruang tamu. Bahkan Irma masih bisa melihat punggung Amadhea.
Saat Amadhea menelepon, samar-samar Irma mendengar suara. "Mama... Mama...."
Irma mengenali suara itu yang tentunya adalah suara Aulia. Wanita paruh baya itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari asal suara tersebut.
"Mama... Mama...."
Perhatian Irma tertuju ke salah satu ruangan yang pintunya sedikit terbuka. Ada sosok perempuan berbaju hitam panjang mengintip dari balik pintu ruangan tersebut.
Irma yakin itu adalah Aulia, putrinya yang sudah meninggal beberapa minggu yang lalu.
"Aulia." Dengar air mata berlinang, Irma bergegas ke ruangan itu. Perlahan tangannya bergerak membuka pintu. Tidak ada siapa-siapa di ruangan tersebut. Hanya kamar biasa yang tampaknya tidak digunakan.
Irma melihat sosok perempuan berbaju hitam yang ia yakini sebagai putrinya itu berdiri di samping lemari. Ada yang janggal. Tinggi Aulia menyamai tinggi lemari yang tingginya kira-kira 190 meteran.
Bibir pucat Aulia tersenyum lebar. "Mama."
"Sayang." Irma menitikkan air matanya.
"Mama sudah nggak sayang Aulia lagi, ya?" tanya Aulia dengan suara bergetar.
"Mama sayang kamu, Nak," sanggah Irma.
"Tapi, Mama selalu menjaga Amadhea. Mama sudah melupakanku," tangis Aulia.
"Bukankah kamu yang meminta Mama dan Papa untuk menjaga Dhea?" Irma mendekat.
Tangisan Aulia semakin pecah. "Mama jahat! Mama nggak sayang Aulia!!!"
"Aulia."
Aulia menaiki kusen jendela lalu melompat.
"Aulia!" Irma nyaris meloncat menyusul Aulia. Wanita paruh baya itu terbelalak kala dirinya berada di jendela lantai dua. Ia ingin mengurungkan niatnya lompat dari lantai dua, tapi kedua kakinya sudah keluar. Kini tangannya berpegangan ke kusen.
Di saat dirinya dalam bahaya pun, Irma masih memikirkan Aulia. Ia melihat ke bawah berharap bisa melihat keberadaan putrinya.
Tangan Irma sudah tidak mampu lagi bertahan. Saat tangannya terlepas, tangan lain meraih tangan Irma. Wanita paruh baya itu mendongkak menatap siapa yang menolongnya, ternyata Amadhea yang menarik tangannya.
"Tante! Jangan lepaskan tanganku!"
Tidak hanya Amadhea. Irma juga melihat sosok Aulia bergaun putih yang membantu Amadhea menarik tubuh Irma agar tidak jatuh dari lantai dua.
Akhirnya Irma berhasil diselamatkan. Amadhea mengelap keringatnya. "Kenapa Tante bisa berada di lantai dua?"
Irma membeku. Ia juga baru ingat kalau tadi dirinya berada di ruang tamu lantai satu. Bagaimana bisa dirinya berada di lantai 2 padahal jelas-jelas dirinya memasuki kamar di lantai satu tadi.
"Tante juga tidak ingat kenapa Tante bisa berada di sini. Apa ini kamarmu?"
"Ini kamar Papa dan Mama."
👻👻👻
19.19 | 1 September 2021
By Ucu Irna Marhamah
KAMU SEDANG MEMBACA
SURREPTITIOUS
TerrorSURREPTITIOUS by Ucu Irna Marhamah Amadhea Claresza mendadak bisa melihat sosok-sosok makhluk halus di rumahnya, padahal sebelumnya ia tidak bisa melihat kehadiran mereka di sekitarnya. Gangguan-gangguan dari makhluk-makhluk itu membuat Amadhea pe...