Part 34

44 6 0
                                    

Karnilah mengeluarkan kunci dari tasnya. Ia pun membuka pintu rumah tersebut lalu masuk. Amadhea juga masuk mengikutinya. Ruangan tersebut sangat gelap. Karnilah meraba-raba dinding dan menekan saklar. Lampu temaram menyala menyajikan kesan horor yang kental di rumah itu.

Amadhea mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Rumah itu tampak kuno, begitu pun dengan barang-barangnya. Karnilah pergi ke ruangan lain, sementara Amadhea mencari petunjuk di ruang tamu.

Perhatian Amadhea tertuju ke lukisan besar yang dipajang di atas perapian. Itu adalah lukisan 7 orang yang wanita seperti di mimpi Amadhea waktu itu.

Kali ini Amadhea memperhatikan lukisan itu dengan sangat teliti. Satu hal yang membuat Amadhea terkejut setengah mati, yaitu salah satu dari wanita dalam lukisan tersebut mirip dengan wajahnya.

"Apa-apaan ini?" Amadhea tampak syok.

Dalam lukisan tersebut, wanita yang mirip Amadhea itu memakai kebaya merah. Ia sangat cantik dan anggun.

Amadhea menggelengkan kepalanya. "Ini cuma mimpi bodoh!"

"Aku mau bangun! Aku mau bangun!!!" Amadhea memukuli kepalanya sendiri.

"Hhhh!" Amadhea tersentak bangun. Ia mendapati dirinya tertidur di ruangan sempit yang dindingnya dipenuhi coretan krayon merah. Gadis itu mengusap keringat yang mengalir di dahinya.

"Kenapa aku bisa di ruangan tersembunyi ini?" gumam Amadhea. Ia melihat ke sekeliling. Tampaknya hari masih malam. Ia pun bangkit dan berjalan menaiki tangga dengan langkah pelan.

Amadhea sampai di kamarnya. Ia melihat teman-temannya masih tidur. Gadis itu pun merebahkan tubuhnya ke ranjang. Ia menatap langit-langit kamar.

Sedikit demi sedikit aku menemukan informasi. Nino adalah anak Papa dan Mama. Lalu wanita bernama Karnilah itu adalah pemilik dan yang menjual rumah ini, tak lain dia adalah hantu bermata hitam itu dan dia tinggal di sebuah rumah di dalam hutan bakau yang berlokasi di Pantai Mati, batin Amadhea.

Lalu... yang wajahnya mirip denganku... ah, mungkin itu hanya halusinasiku. Tapi....

👻 Flashback 👻

"Dia berbohong, Pak Polisi. Amadhea membenci ibuku, karena dia sering bertengkar dengan ibuku. Itulah sebabnya dia membunuh ibuku. Jelas-jelas aku melihatnya merangkak di atas mobilku dan membunuh ibuku! Itu kamu, Dhea! Karena ledakkan itu, kamu pasti terluka. Tunjukkan luka bakar di tubuhmu!" bentak Calvin.

"Kamu melihat luka bakar di mana? Di bagian mana?" tanya Dhea.

Calvin menatap jijik pada Amadhea. "Di sebagian wajahmu dan hampir seluruh tubuhmu. Kamu sangat mengerikan."

Amadhea menyibakkan rambutnya ke belakang. "Dari lahir aku tidak pernah memiliki luka bakar. Di mana luka bakarnya? Lagian bagaimana caranya aku menyusul kalian? Aku tidak punya SIM. Aku juga tidak punya mobil, karena kalian mengambilnya!"

"Sudah! Sudah!" Pak Polisi menepuk-nepuk meja.

***

Calvin menatap Amadhea yang juga menatap kesal padanya. "Amadhea bukan anak kandung Om Sudarman dan Tante Ayuni. Dia anak iblis. Itulah sebabnya dia bisa memindahkan kami ke Pantai Mati dengan ilmu hitamnya. Om Sudarman dan Tante Ayuni memuja setan dan merawat anak setan itu sampai sebesar ini dan sekarang dia menyebabkan malapetaka."

👻 End Flashback 👻

"Luka bakar...." gumam Amadhea. Ia teringat pada hantu wanita yang wajahnya meleleh karena luka bakar. Keringat dingin mengalir dari dahinya. "Dia...."

Dari sudut matanya, Amadhea melihat pintu kamarnya yang perlahan terbuka. Ia melihat sosok berdiri di sana. Amadhea tidak berani menoleh ke arah pintu. Ia membeku dalam ketakutan.

Terdengar suara adzan berkumandang. Amadhea menoleh ke pintu. Tidak ada apa pun di sana. Angin lembut berhembus menerpa wajahnya. Amadhea beranjak lalu menutup pintu. Ia melihat Zahra yang masih tidur.

"Za." Amadhea menghampiri Zahra kemudian ia membangunkannya pelan-pelan. "Zahra."

Perlahan Zahra membuka matanya. Ia menatap pada Amadhea.

"Sudah Subuh, Zahra," kata Amadhea.

Zahra mengangguk. Ia beranjak bangun. Namun, Zahra berhenti di depan pintu. Ia menoleh pada Amadhea.

"Kenapa, Za?" tanya Amadhea.

Zahra menggeleng ragu.

Amadhea menghampiri Zahra. "Ayo, aku antar."

Saat hari mulai pagi, teman-teman Amadhea pamit pulang.

"Terima kasih kalian sudah menemaniku dan menjagaku," kata Amadhea.

Zahra dan Alinda memeluk Amadhea.

"Jaga diri baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, telepon kami, atau telepon Tante Irma, atau telepon polisi," ucap Zahra.

Amadhea mengangguk.

"Besok kamu nggak perlu ke sekolah. Kamu membtuhkan waktu untuk pengobatan dan pemulihan. Jangan lupa minum obatnya, ya. Tante Irma bilang, dia bakalan dateng ke rumah kamu nganterin makanan," kata Alinda.

Amadhea mengangguk. "Makasih, ya."

Greeta memeluk Amadhea dengan erat dan cukup lama.

"Greeta." Amadhea membalas pelukannya.

"Kalau kamu merasakan kehadiran mereka, kamu hanya perlu mengabaikannya," ucap Greeta.

Amadhea mengangguk. "Terima kasih."

Setelah teman-temannya pergi, Amadhea kembali memasuki rumah. Gadis itu duduk di sofa. Ia masih memikirkan mimpinya semalam.

"Kalau sewaktu hidup Karnilah menjual rumahnya pada Papa, artinya dia merelakan rumahnya. Lalu, kenapa dia menggangguku? Selain itu, hubungan Karnilah dan orang tuaku sepertinya baik-baik saja, tidak ada masalah apa pun." Amadhea menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.

Amadhea menghela napas pelan. Ia menyentuh dahi kirinya yang benjol. "Kenapa tidak kunjung kempes? Ini tidak sakit, tapi aku tidak mau pergi ke sekolah dengan dahi begini."

"Oh!" Amadhea teringat sesuatu. Ia mengambil ponselnya lalu mencari lokasi Pantai Mati di Google Maps.

"Apa rumah itu juga ada?" Amadhea membuka navigasi perjalanan. Apa yang ia lihat di Google Maps sama dengan yang dilihatnya di mimpi semalam. Ia juga masih ingat jelas jalan setapak menuju ke dalam hutan bakau.

Bahkan rumah itu masih berdiri utuh di tengah-tengah hutan bakau. Meski ada sulur dan tanaman merambat yang merayap di dinding-dindingnya. Rumah itu tampak terbengkalai dan lebih menyeramkan.

"Aku benar-benar tidak percaya, rumah ini benar-benar ada. Ternyata mimpiku bukan mimpi kosong," gumam Amadhea.

"Aku rasa aku harus menghubungi Xaga. Hanya dia yang bisa membantuku, karena dia satu-satunya orang yang bisa melihat apa yang aku lihat. Bahkan dia bisa melihat yang tidak bisa aku lihat," ucap Amadhea. Ia mencari nomor Xaga di kontaknya lalu ia mengirimkan pesan chat.

Me : Boleh aku meminta bantuanmu?

Amadhea menunggu balasan dari Xaga. Tak lama kemudian, chat-nya bertanda centang biru, artinya Xaga membaca chat dirinya.

Xaga : (Typing...)

Amadhea tampak khawatir. Ia berharap Xaga membalas chat dirinya dan bersedia membantunya.

Xaga : Kamu nggak apa-apa? Apa yang bisa aku bantu?

Me : Ada banyak hal yang perlu aku tanyakan padamu. Ini mengenai hantu bermata hitam itu. Aku mendapatkan petunjuk dari mimpiku. Aku harap ini bisa menyelamatkanku.

Xaga : Besok pulang sekolah aku ke rumahmu.

👻👻👻

12.26 | 1 September 2021
By Ucu Irna Marhamah

SURREPTITIOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang