Part 58

69 8 0
                                    

Pak Tarmin tampak sibuk menyapu. Ia sesekali menyapa para murid dan orang tua murid yang datang. Ya, hari ini adalah hari pembagian raport kenaikan kelas.

Di kelas XI-IPA-B, Irma duduk paling depan bersama wanita bermata segaris yang tak lain adalah ibunya Alinda, yaitu Listina. Di belakangnya ada Pak Ahmad dan Pak Feri _ayahnya Greeta_

Bu Rita membacakan nama-nama murid yang masuk ke dalam tiga besar di kelas XI-IPA-B.

"Peringkat pertama dengan jumlah nilai 4401 dimenangkan oleh... Zahra Annisa Ramadianna."

Semua orang bertepuk tangan.

"Peringkat kedua diduduki oleh Arnold Hariss Sanjaya dengan jumlah nilai 4390."

Semua orang bertepuk tangan.

"Dan peringkat ketiga dengan jumlah nilai 4389, yaitu Amadhea Claresza."

Mereka bertiga mendapatkan piagam.

Beberapa hari kemudian.

Di depan rumah tua itu terlihat lima truk terparkir. Beberapa pria kekar terlihat sibuk menyangkut barang ke dalam truk.

Amadhea mengawasi kinerja mereka. Ia melihat dua orang pekerja mengangkut lukisan Pantai Mati.

"Sebentar, Pak. Lukisan itu jangan dibawa," ucap Amadhea.

"Oh, saya taruh di mana, Non?"

Amadhea mengambilnya. "Aku akan membakarnya."

Di halaman belakang, Amadhea membakar lukisan tersebut.

Mobil sport hitam berhenti di depan rumah itu. Sepasang muda-mudi keluar dari mobil dan bertanya pada salah seorang pekerja.

"Permisi, Pak, apa pemilik rumah ini ada?" tanya pria itu.

"Ada, Non Dhea di belakang," jawab salah seorang pekerja.

"Apa kami bisa menemuinya?" tanya perempuan yang bersama pria itu.

"Tentu saja, silakan."

Kedua orang itu pergi ke halaman belakang dan mendapati Amadhea sedang melihat api yang membakar sebuah lukisan.

"Permisi."

Amadhea menoleh. "Oh? Iya?"

"Nama saya Reno, dan ini istri saya Nima."

Amadhea bersalaman dengan kedua orang itu. "Saya Amadhea."

"Apa Adek pemilik rumah ini?" tanya Reno.

"Oh, betul." Amadhea mengangguk.

"Kami dengar Adek mau menghancurkan rumah ini dan diratakan," ucap Reno lagi.

Amadhea mengangguk. "Iya, saya berencana meratakan bangunan tua ini."

"Kalau Adek bersedia menjualnya pada kami, kami akan membelinya," kata Reno.

Amadhea tampak berpikir kemudian ia menggeleng. "Saya tidak berniat menjualnya pada siapa pun, mohon maaf."

"Kami akan membeli dengan harga tinggi. Berapa yang Adek mau?" tanya Nima.

Amadhea tersenyum kemudian menggeleng. "Saya tidak ingin menjualnya, mohon maaf."

Amadhea pindah ke rumah barunya di dekat SMA Germada. Ia merasa nyaman tinggal di sana.

Semenjak hantu Surni dan Karminah lenyap, Amadhea tidak bisa melihat makhluk halus lagi. Ia benar-benar kembali normal seperti dulu.

Orang tua Greeta mengundang teman-teman Greeta untuk makan siang bersama. Amadhea, Zahra, Alinda, Xaga, Zayn, Arnold, dan Elan diundang oleh Greeta.

SURREPTITIOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang