Amadhea membuka matanya. Ia melihat ke sekeliling. Gadis itu mengernyit mendapati dirinya berada di dalam rumah asing. Ia mendengar suara bisikan-bisikan seperti seseorang yang sedang membaca mantra. Namun, itu hanya berlangsung sesaat, setelah itu mengilang.
Gadis itu tahu kalau ia tidak benar-benar berada di dunia nyata. Ia sedang bermimpi saat ini.
Setelah diperhatikan, ternyata itu bukan rumah orang lain, melainkan rumahnya sendiri. Ia tahu betul denah rumahnya, itu memang rumahnya. Hanya saja dindingnya tidak ditempeli kertas dinding, melainkan dicat dengan warna putih.
"Sepertinya ini bukan sekedar mimpi. Mungkin aku benar-benar sedang berada di dimensi lain sebelum aku dilahirkan," gumam Amadhea.
Ia berspekulasi kalau saat ini dirinya sedang berada di masa lalu. Di mana rumah itu belum ditempeli kertas dinding. Atau mungkin jauh sebelum orang tuanya menempati rumah itu. Mungkin rumah tua itu masih ditinggali mendiang kakek dan neneknya. Karena selama ini, Sudarman dan Ayuni tidak pernah menceritakan tentang rumah itu pada Amadhea.
Saat ini Amadhea tengah berada di ruang tamu. Sebenarnya Amadhea tidak ingin lagi mencari tahu apa pun, tapi penulis novel menyuruhnya berdiri. Ia pun beranjak dari sofa lalu berkeliling di dalam rumah itu.
Amadhea melihat ruangan di dekat tangga yang pintunya tidak disembunyikan seperti yang ia temukan kemarin. Bahkan di bawah pintu itu tidak ada lubangnya. Kemungkinan pintu itu disembunyikan oleh orang tuanya setelah menempati rumah tersebut.
Dengan sedikit keberanian, Amadhea pembuka pintu tersebut. Ternyata ruangan itu dulunya adalah gudang. Semua peralatan dan perkakas disimpan di dalam sana. Juga tidak ada kamar mandi yang merangkap seperti di mimpi sebelumnya.
Rumah itu sangat nyaman, tidak terlihat seperti rumah tua. Dari jendela, Amadhea memperhatikan halaman depan dan belakang rumah yang terlihat sangat sejuk dengan bunga-bunga hias dan pepohonan yang rindang. Berbeda dengan sekarang, ada banyak sulur dan tanaman liar di sekitar rumah.
Pagar hidup mengelilingi benteng dan gerbang rumah. Model gerbangnya terkesan kuno, tapi menunjukkan sisi aesthetic.
Amadhea melanjutkan langkahnya untuk mencari petunjuk. Ia berhenti di depan sebuah lukisan pantai yang mirip dengan lukisan yang ditemukan Amadhea tertempel di pintu yang ditutupi kertas dinding.
"Lukisan ini... sudah ada sejak lama?"
Perhatian Amadhea tertuju ke kalender di meja. Ia mengambilnya. Kedua matanya terbelalak melihat tahun yang tertulis, yaitu 1922. Artinya 100 tahun yang lalu.
"Tidak mungkin... ini bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. jadi, rumah ini berusia 100 tahun lebih?" gumam Amadhea.
Amadhea melihat ke ruang keluarga. Ada sebuah lukisan besar di sana. Dalam lukisan tersebut tampak seorang wanita cantik berambut panjang sampai ke paha. Ia memakai kebaya kuno dengan kain bermotif batik tulis.
Ada yang tertulis di bagian sudut bawah kiri lukisan, 1890. "Lukisan ini berusia 132 tahun. Artinya wanita ini sudah meninggal."
Sesaat Amadhea memperhatikan kedua mata wanita itu.
Deg!
Serasa ada petir yang menyambar. Amadhea mengingat wajah itu. Wanita di lukisan tersebut mirip dengan hantu wanita bemata hitam secara keseluruhan dan berkulit pucat yang pernah satu kali menunjukkan diri di depan Amadhea.
"Apa dia pemilik rumah ini? Jadi, Papa dan Mama mendapatkan rumah ini darinya? Mungkin bukan dari wanita ini, tapi dari anak atau cucu atau cicitnya," kata Amadhea pelan.
Amadhea mencari lukisan atau foto lainnya di ruangan-ruangan rumah itu. Ada sebuah lukisan di salah satu ruangan di lantai 2, tepatnya kamar mendiang orang tua Amadhea. Ternyata dulu itu bukan kamar, melainkan sebuah ruangan khusus seperti ruangan ritual.
Ada dua lemari besar, dua meja, dan dua cermin. Di lantai ada sesajen dan dupa. Amadhea merinding melihat itu. Ia tidak ingin lama-lama di sana, karena aura negatif berkumpul di ruangan tersebut.
Amadhea penasaran dengan kamarnya. Ia pun memasuki kamarnya. Ternyata dulu pun itu memang sebuah kamar. Ada lukisan besar yang digantung di kamar itu. Terlihat 7 orang yang wanita dalam lukisan tersebut. Salah satunya adalah wanita yang sebelumnya dilihat Amadhea dalam lukisan di ruang keluarga.
Tiba-tiba Amadhea mendengar suara nyaring yang membuatnya terbangun. Gadis itu meraih ponselnya di meja. Ternyata suara nyaring itu adalah alarm yang berasal dari ponselnya.
Lagi-lagi yang barusan adalah mimpi.
Jam menunjukkan pukul 6.00. Amadhea beranjak dari ranjang kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia masih mencoba mengingat-ingat mimpi yang dialaminya semalam.
Sejauh ini aku sering melihat hantu wanita yang sebagian wajahnya terbakar dan mata yang melotot. Lalu ada satu lagi hantu wanita yang memiliki sepasang mata hitam semua, tidak ada bagian putihnya. Hantu yang satu ini jarang menunjukkan diri, tapi aku merasa dia yang paling menakutkan di antara hantu-hantu lain yang pernah aku lihat. Tidak ada yang aku ketahui tentang kedua hantu ini, kecuali hantu yang matanya hitam semua adalah pemilik atau mungkin orang yang pernah tinggal di rumah ini jauh sebelum ditempati orang tuaku, batin Amadhea.
Setelah selesai mandi, Amadhea bersiap-siap pergi ke sekolah. Ia memakai seragam dan menenteng tasnya lalu bergegas menuruni tangga. Pandangan Amadhea tertuju ke ruangan tersembunyi di dekat tangga. Ia pun melihatnya dan menyingkap sedikit kertas dinding yang menutupi pintu tersebut. Gemboknya masih terkunci seperti terakhir kali dilihat oleh Amadhea.
"Dasar bodoh, tentu saja pintu ini masih digembok. Memangnya siapa yang membukanya?" Amadhea menggelengkan kepalanya.
Amadhea mendongkak menatap lukisan pantai itu. Ia mengambilnya lalu mencari petunjuk yang mungkin saja tertinggal di lukisan tersebut. Ia melihat bagian belakang bingkai lukisan. Tertulis tahun 1980.
Sejenak Amadhea terdiam. Ia ingat betul lukisan wanita di mimpinya juga memiliki tahun yang sama di bagian sudut lukisan.
"Mimpi semalam... benar adanya," gumam Amadhea. Ia mencoba mencerna segala hal yang terjadi padanya dengan akal sehat.
Terdengar suara bel berbunyi. Amadhea segera menggantungkan kembali lukisan itu. Ia bergegas ke pintu utama.
"Siapa yang datang pagi-pagi begini?" gumam Amadhea. Ia membuka pintu.
Terlihat dua orang polisi berdiri di depan. Mobil polisi juga terparkir di pelataran rumah. Padahal Amadhea tidak mendengar suara mobil yang memasuki area rumahnya.
"Selamat pagi, apa benar ini rumahnya Nona Amadhea Claresza?"
Amadhea mengangguk. "Iya, Saya Amadhea Claresza."
"Bisa ikut kami ke kantor polisi?"
Amadhea mengernyit bingung. Sebelum memberikan jawaban, para polisi itu membawanya ke dalam mobil.
Irma melihat Amadhea dibawa oleh Polisi. Ia segera menghentikan mereka. "Pak Polisi, tunggu! Kenapa Dhea dibawa?"
"Kami sedang menyelidiki kasus kematian Nyonya Merlin. Untuk kepentingan penyelidikan, kami harus membawa Nona Amadhea."
Amadhea terkejut mendengar kematian Merlin, tantenya.
"Apa?!"
"Permisi, Nyonya."
Polisi membukakan pintu mobil untuk Amadhea. Gadis itu menurut.
"Dhea." Irma tampak khawatir.
"Nggak apa-apa, Tante. Jangan khawatir," kata Amadhea.
Mobil melaju meninggalkan rumah tua itu. Wanita bermata hitam seluruhnya berdiri di ruang keluarga. Ia melihat para polisi itu membawa Amadhea pergi.
👻👻👻
16.33 | 1 September 2021
By Ucu Irna Marhamah

KAMU SEDANG MEMBACA
SURREPTITIOUS
HorrorSURREPTITIOUS by Ucu Irna Marhamah Amadhea Claresza mendadak bisa melihat sosok-sosok makhluk halus di rumahnya, padahal sebelumnya ia tidak bisa melihat kehadiran mereka di sekitarnya. Gangguan-gangguan dari makhluk-makhluk itu membuat Amadhea pe...