Part 24

79 11 2
                                    

Motor hitam itu berhenti di depan rumah mewah bertingkat dua. Laki-laki itu melepaskan helmnya. Ternyata Xaga. Ia membuka jaket jeans-nya kemudian memasuki rumah.

Xaga menaiki tangga menuju kamarnya.

"Xaga, sudah pulang?" tegur wanita paruh baya berambut sebahu dengan senyuman kecilnya. Ia berdiri di tak jauh dari tangga.

Xaga tidak menjawabnya. Bahkan menoleh pun tidak. Ia tetap melanjutkan langkahnya menuju ke kamar.

Meski pun tidak mendapatkan respon dari Xaga, wanita paruh baya itu tetap tersenyum keibuan. "Putraku pasti lelah. Dia sangat berusaha keras untuk mendapatkan predikat juara umum."

Malam harinya, Xaga duduk di meja belajar. Ia tampak serius mengerjakan tugas sekolah.

Pintu kamarnya setengah terbuka. Wanita paruh baya yang tak lain adalah ibunya Xaga berdiri di sana memperhatikan putranya. Senyuman tipis tak pernah lepas dari wajahnya.

"Xaga, waktunya makan malam, Nak," kata wanita paruh baya itu.

Xaga tampak tidak peduli. Ia tetap fokus pada bukunya.

Seorang wanita muda membuka lebar pintu kamar Xaga. Ia mengetuk pintunya.

"Xaga, makan malam sudah siap. Ayo, kita makan bersama," kata wanita muda itu. Tanpa menunggu jawaban dari Xaga, wanita muda itu berlalu pergi.

Di meja makan, terlihat Xaga dan wanita muda tadi _yang tak lain adalah kakaknya_ duduk bersebelahan. Sementara di depan mereka ada ayah dan ibu mereka.

"Bagaimana sekolahmu, Xaga?" tanya ayahnya Xaga yang bernama Pak Bachtiar.

Xaga tidak menjawab.

"Putra kita tidak pernah mengecewakan kita. Dia sangat bekerja keras, belajar setiap malam. Aku selalu memperhatikannya," kata Bu Bachtiar.

"Kamu harus memiliki prestasi agar bisa bersekolah di universitas terbaik di luar negeri seperti Starla, kakakmu," ucap Pak Bachtiar.

Kakaknya Xaga yang bernama Starla itu tidak memberikan tanggapan. Ia fokus dengan makanannya.

"Aku selesai." Xaga beranjak dari kursi kemudian berlalu.

"Hei! Papa belum selesai bicara, jangan meninggalkan meja makan!" gerutu Pak Bachtiar.

Xaga tidak peduli. Ia tetap melangkah pergi meninggalkan ruang makan.

Bu Bachtiar terlihat sedih.

Keesokan harinya, Xaga berangkat ke sekolah. Ia duduk di teras sambil memakai sepatu.

Bu Bachtiar berdiri di belakangnya. "Hati-hati di jalan, Xaga."

Seperti biasa, tidak ada respon dari Xaga. Laki-laki itu menaiki motornya lalu pergi ke sekolah.

Sesampainya di sekolah, Xaga segera memasuki kelasnya. Namun, baru saja ia akan melewati pintu, seseorang memanggilnya.

"Xaga, tunggu!"

Langkah laki-laki itu terhenti. Ia menoleh pada gadis yang memanggil namanya, ternyata Amadhea.

"Ada apa lagi?" tanya Xaga.

Amadhea menghampirinya. "Aku mau bilang terima kasih. Kamu sudah menolongku kemarin. Tidak hanya kemarin, kamu sudah menolongku dua kali."

"Lupakan." Xaga berlalu memasuki kelasnya, tapi Amadhea menarik tangan laki-laki itu.

"Kenapa kamu memasukkan bawang putih dalam saku jaketku?" tanya Amadhea sambil menatap Xaga dengan tatapan curiga.

Xaga menatap Amadhea tanpa memberikan jawaban.

SURREPTITIOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang