Part 39

26 4 0
                                    

Xaga dan Amadhea berdiri di depan bingkai besar yang tertempel di dinding. Dalam bingkai tersebut terlihat foto Bu Bachtiar yang tersenyum keibuan.

"Mama meninggal sejak 4 tahun yang lalu karena kanker yang dideritanya," ucap Xaga.

Amadhea merasa sedih. Ia mengusap bahu Xaga.

Bu Bachtiar berdiri di belakang Xaga dan Amadhea. Ia tersenyum kemudian sosok itu melebur menjadi butiran pasir bercahaya dan menghilang.

Malam telah tiba. Di rumah Ratih.

Bola mata hitam di dalam toples bergerak-gerak. Tiba-tiba tiga lilin merah itu padam.

Ratih yang sedang membenarkan gorden menoleh melihat ketiga lilinnya mati. Ia mengambil korek lalu menyalakannya kembali. Saat kedua matanya melihat ke cermin, Ratih tersentak kaget melihat hantu bermata hitam pekat itu berada di belakangnya lewat pantulan cermin.

Ratih menoleh ke belakangnya, tapi tidak ada siapa-siapa. Ia kembali melihat ke cermin. Hanya ada bayangan dirinya. Ratih melihat toples di samping lilin merah. Bola mata hitam itu menghilang.

"Bagaimana mungkin?"

Tiba-tiba cerminnya pecah. Ratih berteriak kaget. Ia terpundur dan jatuh terduduk. Pipinya berdarah terkena pecahan cermin tersebut.

Terdengar suara serak wanita membaca mantra. Ratih melihat ke sekeliling. Dua sosok bertopeng yang merupakan penjaganya muncul di dekatnya.

Sebuah bayangan melintas di ambang pintu. Ratih menelan saliva. Ia berdo'a dalam ketakutan.

Suara cekikan dan bacaan mantra terus terdengar menggema di rumah itu. Ratih menutup telinganya.

Sementara itu, Amadhea sedang membereskan bukunya. Ia menyentuh plester yang menempel di dahi kirinya. Tiba-tiba ia mendengar suara lari anak kecil. Amadhea melihat bayangan yang melintas di ambang pintu kamarnya.

Amadhea keluar dan melihat hantu anak kecil itu berdiri di depan pintu kamar orang tuanya.

"Nino, apa kamu mau mengatakan sesuatu padaku?" tanya Amadhea dengan suara bergetar.

Tanpa diduga, hantu anak kecil itu menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan Amadhea.

"Aku... aku minta maaf padamu. Aku minta maaf atas perbuatan Mama dan Papa. Maafkan aku." Amadhea menitikkan air matanya.

Hantu Nino juga menangis.

"Maafkan aku." Amadhea mengusap air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. "Tidak seharusnya kamu mendapatkan perlakuan buruk dari Papa dan Mama."

Hantu Nino berbalik.

Amadhea menelan saliva. Ia sudah pernah melihat wajah pucat menyeramkan hantu Nino dan matanya yang berwarna putih semua.

Namun, kali ini berbeda. Hantu Nino terlihat manis. Matanya juga terlihat normal. Ia adalah sosok anak laki-laki yang tampan. Hantu Nino tersenyum pada Amadhea.

Tanpa sadar, Amadhea juga tersenyum.

Senyuman hantu Nino memudar. Amadhea juga. Hantu anak kecil itu menunjuk ke belakang Amadhea.

Deg!

Amadhea mendengar suara napas tertahan dari belakangnya. Tubuhnya langsung gemetar.

Amadhea menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Saat kembali melihat ke depannya, hantu Nino sudah tidak ada. Amadhea memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan melanjutkan membereskan buku.

Tiba-tiba Amadhea terbatuk-batuk. Gadis itu menyentuh dadanya. Ia kembali terbatuk dan memuntahkan darah ke meja. Amadhea membulatkan matanya. Ia menyentuh dadanya yang terasa sangat menyakitkan.

SURREPTITIOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang