Part 43

28 4 0
                                    

Amadhea, Xaga, dan Greeta duduk di ruangan lain. Di depan mereka ada Karnilah yang duduk di kursi rodanya. Ada kue di meja. Greeta tergoda untuk menyantapnya, tapi ia sungkan.

Karnilah menatap Amadhea. "Jadi, apa yang membawamu ke mari? Kamu ingin menanyakan sesuatu?"

Amadhea tampak khawatir. Tentu saja ia memiliki banyak pertanyaan dalam benaknya.

Xaga mengusap punggung Amadhea. Gadis itu menatap Xaga yang mengangguk padanya.

"Saya dihantui oleh sosok wanita bermata hitam pekat... saya pikir itu adalah Nenek Karnilah," ucap Amadhea pelan.

"Aku masih hidup dan tidak berminat menghantuimu meski nanti sudah mati," kata Karnilah.

"Lalu... siapa hantu wanita bermata hitam itu?" tanya Amadhea khawatir.

Karnilah tidak langsung menjawab. Ia masih menatap Amadhea.

Karena tidak mendapatkan jawaban, Amadhea mendongkak menatap Karnilah. "Apakah hantu wanita itu... ibu Anda, Nenek Karnilah?"

"Kamu tahu rupanya. Tidak mungkin Sudarman atau Ayuni yang memberitahumu. Dari mana kamu tahu?" tanya Karnilah.

Deg!

Amadhea sangat terkejut. Xaga dan Greeta mendengarkan dengan serius.

Amadhea menunduk. "Saya mendapatkan penglihatan samar. Apa Anda bisa menjelaskan apa yang terjadi? Saya tidak bisa hidup seperti ini. Saya sudah tidak tahan dengan semua ini."

"Kamu sangat mirip dengan kakak tertua kami yang paling cantik di antara semua putrinya Nyonya Surni," ucap Karnilah.

"Nyonya Surni?" tanya Amadhea.

Karnilah mengangguk. "Surni adalah nama ibu kami."

Amadhea tampak serius mendengarkan.

"Ibu kami memiliki enam orang anak. Yang pertama bernama Karminah, kedua Karinah, ketiga Karsinah, keempat Karninah, kelima Karlinah, keenam aku... Karnilah.'

👻 Flashback 👻

Rumah tua (Amadhea) pada tahun 1912. Rumah tersebut terlihat sangat menonjol, karena hanya satu-satunya rumah yang paling besar bertingkat dua dan mewah dengan gaya Eropa. Jauh berbeda dengan rumah-rumah di sekitarnya.

Di salah satu ruangan bercat putih di rumah itu, tampak seorang wanita cantik berkebaya hitam itu meletakkan sesajen di meja. Ia juga menyalakan dupa. Wanita itu bersanggul dan memakai tusuk konde emas. Kain samping batik melilit pinggangnya yang ramping.

Ia mengatupkan kedua tangannya kemudian bibirnya berkomat-kamit membacakan mantra dengan mata tertutup.

Setelah itu ia menaburkan kelopak bunga mawar merah di sofa. Kemudian wanita itu beranjak dari duduknya dan membuka pintu.

Seorang gadis cantik berkebaya hijau berdiri di depan pintu. Rambutnya tergerai indah.

"Ada apa, Karnilah?" tanya wanita itu.

"Para jenderal itu mencari Ibu," kata gadis yang ternyata adalah Karnilah muda.

Wanita cantik yang dipanggil 'Ibu' itu menganggukkan kepalanya. Ia tidak terlihat seperti seorang ibu, karena jika dilihat dari wajahnya ia tampak sangat muda dan seperti seumuran dengan putrinya, Karnilah.

"Tidak perlu ikut turun. Kamu di sini saja, ya," ucap wanita itu sambil mengusap rambut Karnilah.

Karnilah menganggukkan kepalanya.

Dengan gontai, wanita cantik itu menuruni tangga menuju ke ruang tamu. Saat melewati ruang keluarga, terlihat lukisannya yang dipanjang di dinding.

Wanita itu memasuki ruang tamu. Ada dua pria berkulit putih di ruangan tersebut.  Yang satu sedang berdiri di depan lukisan Pantai Mati. Tampaknya ia tengah mengamati lukisan tersebut. Yang satunya lagi tampak duduk di sofa. Mereka memakai pakaian seragam kemiliteran di zaman itu.

"Nyonya Surni," sapa pria yang duduk di kursi.

Wanita bernama Surni itu tersenyum tipis lalu duduk berhadapan dengan mereka. "Apa yang membawa kalian ke mari?"

Pria yang melihat lukisan Pantai Mati duduk di samping rekannya. "Lukisan yang bagus."

Surni hanya tersenyum.

"Kami datang untuk berdiskusi," ucap pria satunya yang memakai topi kebesaran jenderal.

"Aku sudah bilang aku tidak ingin terlibat apa pun dengan siapa pun. Portugis, Spanyol, Belanda, Prancis, Inggris. Kalian datang untuk rempah dan sumber daya alam, kenapa menggangguku? Aku tidak punya itu semua," kata Surni.

"Ini bukan tentang bisnis, tapi tentang hubungan kekeluargaan."

Surni tersenyum kecil. "Aku seorang pribumi yang tidak memiliki darah campuran sama sekali."

"Come on, Nyonya Surni, Anda tahu maksudku. Anda memiliki putri yang cantik-cantik. Tidakkah kamu ingin menikahkan salah satu putrimu denganku?"

Surni menatap pria berkumis tipis di depannya tanpa memberikan jawaban.

"Kudengar Karminah sangat cantik. Dia menjadi kembang desa di sini. Aku akan mempersuntingnya. Aku akan memberikan perlindungan khusus pada keluarga Nyonya Surni kalau Nyonya Surni memberikan izin padaku untuk mempersunting Karminah," kata pria itu lagi.

"Tunangan Karminah tewas dalam peperangan. Dia sangat mencintai pria itu dan tidak bisa membuka hatinya pada pria lain," tutur Surni.

"Kalau begitu, putri bungsumu yang tadi membuka pintu juga boleh. Karnilah namanya, kan?"

Surni mengepalkan tangannya. "Dia masih terlalu muda untuk menikah. Ada banyak gadis cantik di desa ini."

"Usia Anda sudah 60 tahun, tapi tidak terlihat menua sama sekali. Anda terlihat sangat cantik. Kalau saja Anda tidak seumuran dengan ibuku, mungkin aku akan menikahi Anda."

Surni tidak merespon.

"Sampai kapan Anda menjanda?"

"Suamiku masih hidup, kami juga masih bersama. Dia sedang berada di tempat lain saat ini," sanggah Surni.

Ia mengantarkan kedua pria itu sampai depan pintu rumahnya.

Setelah mobil tentara itu pergi, Surni mendengus kesal. "Baru satu tahun, tapi orang-orang Inggris itu sudah sangat menggangguku. Mereka bilang aku 60 tahun? Bahkan aku lebih tua lagi."

Surni menaiki tangga menuju ke kamar utama di lantai dua. Ia mengetuk pintu kamar tersebut, tapi tidak ada jawaban. Surni pun menarik knop pintu dan mendorongnya.

Ia melihat sosok gadis berkebaya merah, berambut panjang yang duduk di tepi ranjang. Ada lukisan besar di dinding kamar tersebut, yaitu lukisan tujuh orang wanita. Salah satunya ada Surni dan Karnilah.

"Karminah." Surni duduk di samping gadis itu.

Gadis bernama Karminah itu tampak melamun. Kedua matanya sembab menandakan ia baru saja menangis.

Surni mengusap rambut panjang Karminah lalu mengepangnya dan membuat sanggul yang cantik.

"Ibu, apa salah Bang Hardi? Kenapa mereka memenggal kepalanya?" tangis Karminah.

Surni memeluk putri sulungnya itu.

"Bang Hardi hanya mempertahankan tanah airnya dari para penjajah itu," tangisan Karminah semakin menjadi-jadi.

Malam harinya, Surni kembali ke ruangan pemujaan itu. Ia menaburkan lebih banyak kelopak bunga mawar merah ke sofa lalu berkomat-kamit membaca mantra.

Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras di langit-langit ruangan itu. Surni mendongkak menatap ke atas. Tidak ada apa pun di sana.

"Hhhh." Sanggul Surni terlepas dengan sendirinya. Tusuk kondenya terjatuh ke lantai.

Kancing kebayanya berhamburan ke lantai. Kain sampingnya juga. Kini wanita cantik itu tidak lagi mengenakan sehelai benang pun. Rambutnya yang panjang tergerai indah menutupi tubuh moleknya yang mulus.

Sosok hitam besar dan bertanduk itu berdiri di belakangnya. Surni merasaka tubuhnya lemas dan tersungkur ke sofa. Kelopak bunga mawar merah itu berjatuhan ke lantai.

Selanjutnya yang terdengar adalah suara desahan Surni dan geraman sosok hitam itu yang menggema di dalam ruangan tersebut.

👻👻👻

19.34 | 1 September 2021
By Ucu Irna Marhamah

SURREPTITIOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang