Part 07

48 11 0
                                    

Pulang sekolah, Amadhea membersihkan diri kemudian ia memakan nasi goreng yang sempat ia beli sebelum pulang ke rumah. Merasa bosan, Amadhea memilih untuk membersihkan rumah. Ia menyapu dan mengepel lantai. Dan lagi-lagi krayon merah ditemukan di tempat yang sama.

Bahkan selama 1 minggu lebih Amadhea menemukan krayon masih di tempat yang sama. Gadis itu melihat tong sampahnya dipenuhi krayon merah.

"Tidak masuk akal," gumam Amadhea. Tapi, ia tidak mau ambil pusing, karena sekarang dirinya tengah menjalani ulangan akhir semester pertama. Amadhea tidak ingin konsentrasinya terganggu oleh hal kecil seperti itu.

Setelah ulangan selesai, Bu Rita selaku wali kelas XI-IPA-B membagikan surat undangan pada para murid untuk orang tua mereka agar datang ke sekolah untuk mengambil raport.

Sesampainya di rumah, Amadhea memandangi surat undangan tersebut. Ia menghela napas berat lalu meletakkan surat tersebut ke meja.

Dengan sedikit keraguan, Amadhea menelepon seseorang.

"Halo?"

Amadhea bersuara, "Tante Merlin, besok ada rapat pembagian raport di sekolah. Apa Tante bisa datang sebagai waliku?"

Ternyata Amadhea menelepon Merlin.

"Tante sibuk, memangnya tidak bisa diambil sendiri? Kamu bukan anak SD lagi." Panggilan berakhir.

Amadhea menghela napas berat. Ia meletakkan ponselnya ke meja lalu menunduk sambil menopang pelipisnya dengan kedua tangan. Ia benar-benar terlihat frustasi.

Ponselnya bergeser. Amadhea menoleh melihat ponselnya yang bergerak sendiri seolah-olah ada seseorang yang menggesernya ke tepi meja dan jatuh le lantai. Amadhea masih belum berani menggerakkan tangannya untuk mengambil ponsel tersebut. Bergerak pun ia tidak berani. Amadhea hanya menatap ponselnya yang layarnya menjadi retak itu.

Lagi-lagi hawa dingin menyelimuti dirinya. Bulu kuduknya meremang. Amadhea yakin, jika hawa tiba-tiba berubah menjadi dingin, artinya ada makhluk lain di dekatnya. Ponselnya bergetar. Tertera nama Zahra di layar. Amadhea menelan saliva ia mencoba mengambil ponselnya dengan kaki. Ia berhasil lalu mengangkat panggilan tersebut.

"Halo?" Amadhea bergerak mengubah posisinya menjadi duduk lurus. Kedua matanya melebar melihat sosok wanita yang tiba-tiba muncul entah dari mana dan duduk berhadapan dengannya di meja makan tersebut. Rambut panjangnya menutupi sebagian besar wajahnya yang pucat. Kedua matanya secara keseluruhan berwarna hitam pekat menakutkan alias tidak ada bagian putihnya. Ia tengah menatap pada Amadhea.

"Halo, Dhea?" Dari seberang sana Zahra memanggil Amadhea.

Tangan Amadhea gemetar.

Dalam satu kedipan, wanita bermata hitam pekat itu sudah ada di depannya dengan merangkak di atas meja.

"Hhhh." Amadhea menjatuhkan ponselnya. Ia membeku, tidak bisa bergerak dan mulutnya tidak bisa mengeluarkan suara apa pun. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia ingin sekali berteriak meminta tolong.

Wanita bermata hitam pekat itu menyentuh dahi kiri Amadhea. Tangan wanita itu terasa sangat dingin. Amadhea mendengar suara serak wanita itu yang mengucapkan sesuatu seperti membaca mantra.

Amadhea mengenali suara hantu di depannya. Itu adalah suara yang sama yang suka memanggil namanya.

"Amadhea... Amadhea...."

Sangat mirip. Ia mengira kalau wanita berwajah terbakar yang suka memanggilnya. Ternyata bukan. Tapi, hantu inilah yang selama ini memanggil namanya. Untuk pertama kalinya hantu ini menunjukkan dirinya di depan Amadhea.

Lama-lama tangan wanita itu terasa panas dan semakin lama semakin panas. Rasanya seperti ditempeli permukaan setrikaan.

Amadhea semakin gemetar ketakutan, sementara ia tidak bisa melakukan apa-apa. Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan dan jeritan orang-orang dari dalam rumahnya, entah dari mana tepatnya, yang pasti suara-suara itu menggema di dalam rumah.

Suara jeritan serta teriakan anak kecil, wanita, dan pria yang sangat memilukan. Amadhea menutup kedua matanya. Dengan menutup mata, sama sekali tidak membantu. Suara-suara itu masih terdengar meski kedua matanya tertutup rapat.

Amadhea membuka matanya. Suara-suara itu menghilang setelah ia membuka mata. Semuanya menjadi hitam putih. Amadhea berada di ruangan asing.

Ia bertanya-tanya dalam hati, di mana aku? Ini bukan rumahku... tapi terlihat seperti rumahku. Apa aku terjebak dalam lorong waktu?

Tiba-tiba terdengar suara-suara aneh seperti bisikan-bisikan dan langkah-langkah yang mendekat. Amadhea menelan saliva. Ia melihat makhluk-makhluk mengerikan itu muncul dari berbagai arah di sekelilingnya. Ada yang melata, beringsut, dan merangkak. Wajah mereka sangat mengerikan.

Amadhea gemetar. Ia tidak bisa menahan diri lagi. Ia menangis dalam diam. Gadis itu tidak tahu harus melakukan apa. Mereka semakin dekat. Amadhea membuka mulutnya dan mencoba berteriak, tapi suaranya tetap tidak bisa keluar.

Apa aku akan mati sekarang? Pikir Amadhea.

Hantu-hantu itu sudah berada sangat dekat dengannya. Bahkan Amadhea bisa mencium bau busuk dari tubuh mereka. Makhluk-makhluk itu menyentuh tubuh Amadhea. Darah dan nanah mereka menempel di tubuh Amadhea.

Baiklah, bunuh aku. Aku ingin bertemu dengan orang tuaku di surga.

Samar-samar Amadhea melihat satu hantu yang berbeda. Hantu gadis muda itu berdiri di ambang pintu. Ia memakai gaun berwarna putih yang bercahaya. Hantu cantik itu menatap iba pada Amadhea.

Di saat keputusasaan muncul, di saat yang sama Amadhea berteriak dan kali ini suaranya terdengar. "Aaaarrrggghhhh!!!!!!!!!"

Suara Amadhea menggema di rumah itu.

"AAAARRGGGG!!! TOLOOONG!!!!!!"

Hantu-hantu itu semakin menjadi-jadi. Mereka menggerayangi tubuh Amadhea seolah-olah mereka semut dan Amadhea adalah gula.

Semuanya menjadi gelap. Kesadaran Amadhea mulai menghilang. Sesaat ia mendengar suara pintu didobrak dengan paksa.

"Tolong aku...." Kini Amadhea benar-benar tak sadarkan diri.

Perlahan Amadhea membuka matanya. Ia mendapati dirinya terbaring di ranjang kamarnya. Ada seorang wanita yang duduk di tepi ranjang. Wanita itu tampaknya sedang mengupas apel.

"Tante Irma," panggil Amadhea.

Wanita paruh baya yang yak lain adalah ibunya Aulia itu menoleh.

"Kamu sudah bangun, Dhea?" tanyanya.

"Apa yang terjadi, Tante? Kenapa Tante bisa di sini?" tanya Amadhea kebingungan.

Wanita paruh baya itu meletakkan apel dan pisau ke piring kemudian ia beranjak dari tepi ranjang dan berdiri di depan jendela kamar Amadhea.

Irma bergumam pelan, "Sudah sejak lama...."

"Amadhea? Sudah bangun, Nak?" Suara wanita dari ambang pintu membuat pandangan Amadhea teralihkan ke sumber suara.

"Tante Irma?" Amadhea terkejut melihat Irma yang baru saja datang dengan piring di tangannya berisi buah-buahan segar.

Pandangan Amadhea kembali tertuju ke jendela. Tidak ada siapa-siapa di sana. Gorden jendelanya bergerak-gerak tertiup angin. Lagi-lagi buluk kuduknya merinding.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Tante Irma sambil duduk di tepi ranjang.

"Saya...." Amadhea menggantung kalimatnya.

"Tadi kami mendengar suara teriakan dari rumah kamu. Om dan Tante segera datang. Pintu rumah kamu didobrak sama Om, sekarang jadi rusak. Maaf, yaaa. Kami sudah memanggil orang untuk memperbaikinya." Irma tampak sedih.

Amadhea menggeleng. "Tidak apa-apa, Tante. Saya berterima kasih, karena Tante dan Om datang."

👻👻👻

09.16 | 1 September 2021
By Ucu Irna Marhamah

SURREPTITIOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang