Part 11

62 9 0
                                    

Merasa suhu menjadi dingin, Zahra mematikan AC bus. Gadis itu merasa ada sesuatu yang janggal. Meski pun AC sudah dimatikan, suhunya tetap terasa dingin. Ia pun menunduk dan berdo'a dalam hati.

Tiba-tiba anak kecil itu menjerit kencang membuat telinga Amadhea berdengung. Refleks Amadhea menutup kedua telinganya.

Sementara Zahra masih berdoa membacakan ayat-ayat suci. Hantu-hantu mulai bermunculan dari berbagai arah. Mereka sangat mengerikan. Sepertinya hantu-hantu itu dulunya adalah penumpang yang tewas atau mungkin korban kecelakaan. Itu sebabnya mereka tampak sangat mengerikan.

Amadhea menutup matanya rapat-rapat.

Terdengar suara seperti letusan balon berisi bubur atau air. Saat membuka mata, Amadhea melihat darah berceceran di mana-mana. Tenyata hantu-hantu itu meledak.

Amadhea menatap Zahra yang juga menatap padanya. Gadis itu rupanya sudah selesai berdoa.

"Kamu kenapa pucat sekali?" tanya Zahra.

Darah-darah itu perlahan mulai menghilang, begitu pun dengan hantu-hantu yang tadinya bergelimpangan dalam bus. Mereka seolah-olah raib entah ke mana.

Amadhea tersenyum kaku. "Sepertinya aku kebelet...."

... mau muntah, sambung Amadhea dalam hati.

"Sebentar lagi kita sampai di pemberhentian yang lumayan dekat dengan rumah kamu," ucap Zahra.

Amadhea mengangguk. Ia tampak berpikir, hantu-hantu itu sepertinya menghilang karena do'a Zahra.

"Oh! Aku menang." Zahra menunjukkan layar ponselnya. Ternyata ia memenangkan permainan catur.

Amadhea melihat layar ponselnya. "Ah, aku kalah."

Zahra tersenyum. "Kita bisa main lagi lain kali."

Bus berhenti di pemberhentian. Amadhea pun turun. Ia melambaikan tangannya pada Zahra yang akan berhenti di pemberhentian selanjutnya.

Zahra juga melambaikan tangannya.

Keesokan harinya di SMA Germada.

Pak Tarmin tampak menyapu dedaunan dan bunga kering yang berjatuhan dari pohon tua di pelataran SMA. Ia tampak telaten.

Beberapa murid dan OSIS yang datang pagi menyapanya.

"Pak Tarmin rajin banget."

"Iya, Non. Non juga pagi bener datang ke sekolahnya."

"Ada piket OSIS, Pak."

"Oh, kalau begitu saya lanjut, ya, Non."

"Iya, Pak."

Jam pelajaran ketiga, murid-murid kelas XI-IPA-B tampak berjalan beriringan menuju ke lapangan basket. Mereka memakai baju olahraga berwarna biru-hitam.

Ternyata di lapangan basket masih ada siswa kelas lain yang masih berolahraga. Mereka adalah kelas XI-IPA-A. Seragam olahraga mereka berbeda di mana warnanya merah-hitam.

Greeta melambaikan tangannya pada Elan. Laki-laki itu juga melambaikan tangannya.

Amadhea sangat tidak ingin melihat Xaga, tapi apa boleh buat. Ia harus melihat laki-laki yang selalu melihatnya dengan tatapan kebencian tanpa alasan.

"Guru olahraga sedang absen. Mereka berolahraga sendiri tanpa peduli jam olahraga mereka sudah habis," kata Gerald.

"Seharusnya mereka mendengar bel, kecuali kalau mereka tidak punya telinga," gerutu Arnold.

Pandangan Xaga teralihkan pada Amadhea. Gadis itu mengalihkan pandangannya tidak ingin berkontak mata dengan laki-laki itu.

Xaga menautkan alisnya. Tanpa diduga, ia melemparkan bola basket di tangannya ke arah Amadhea dengan sekuat tenaga.

Amadhea membulatkan matanya. Ia segera melindungi wajahnya dengan kedua tangan.

Bola basket itu tidak mengenai Amadhea, tapi lewat ke sampingnya dan memantul ke dinding di belakang Amadhea.

Greeta merangkul Amadhea. "Kamu nggak apa-apa?"

Amadhea yang sebenarnya masih agak kaget menggeleng pelan.

"Hei, lo! Kenapa lo ngelempar bola sembarangan! Gimana kalo kena muka orang!" Arnold menarik bagian depan baju Xaga.

Beberapa murid lainnya baik IPA-A mau pun IPA-B mencoba memisahkan mereka agar tidak terjadi perkelahian antar kelas.

Saking kuatnya Arnold menarik baju Xaga, kalung salib Xaga jatuh. Zahra yang melihat itu mengambilnya.

Alinda menenangkan Arnold. "Sudah-sudah."

Zahra memberikan kalung tersebut pada Xaga. "Ini milikmu."

Xaga menerimanya. Kelas IPA-A meninggalkan lapangan.

Amadhea menatap punggung Xaga.

Pulang sekolah, Amadhea langsung mandi. Selesai mandi, Amadhea memasak oseng buncis udang. Ia tampak begitu telaten. Setelah makanannya matang, Amadhea menyantapnya.

Semenjak Irma hampir jatuh dari lantai dua waktu itu, Irma jarang datang ke rumah Amadhea. Wanita itu hanya akan datang sampai depan pintu untuk berbagi makanan. Tidak hanya Irma, tetangga lainnya juga memperlakukan Amadhea dengan baik. Mereka sering datang untuk berbagi makanan atau sekedar menanyakan keadaan Amadhea.

Tidak hanya Irma, rupanya beberapa tetangga yang pernah datang ke rumah Amadhea pernah merasakan keberadaan sosok yang tak terlihat wujudnya, tapi terasa kehadirannya.

Kadang mereka melihat sosok tertentu yang menyerupai seseorang. Entah menyerupai sosok yang sudah meninggal atau sosok orang lain. Yang paling sering mereka melihat sosok Amadhea sedang berdiri di depan jendela kamar utama lantai dua. Padahal nyatanya Amadhea sedang pergi ke sekolah. Atau mereka melihat Amadhea sedang berkebun dan menyiram tanaman, padahal itu tengah malam.

Selesai makan, Amadhea mencuci piringnya di wastafel. Setelah itu, ia pergi dari dapur menuju ke tangga lantai dua. Namun, langkahnya terhenti di ujung anak tangga. Ia menoleh dan melihat krayon berwarna merah menumpuk di tempat yang sama. Amadhea sibuk dengan sekolah yang setiap harinya pulang sore. Sudah beberapa hari ia tidak menyapu apalagi mengepel.

Amadhea membuang tumpukkan krayon itu ke tong sampah seperti biasa. Saat kembali, masih ada satu buah krayon di sana. Amadhea terlihat kesal. Ia mengambilnya.

Ketika menunduk, ada lagi krayon merah menggelinding ke arahnya. Asalnya dari kolong meja. Amadhea mengernyit. Ia membuang kedua krayon tersebut lalu memperhatikan meja yang di atasnya ada telepon rumah dan vas bunga beserta bunga hiasan yang terbuat dari plastik. Sementara di dindingnya terdapat lukisan besar dengan pemandangan pantai yang terlihat menyeramkan.

Karena penasaran, Amadhea menyalakan senter dari ponselnya. Lalu ia mengintip ke kolong meja. Ada sebuah lubang berbentuk persegi panjang 5x16 sentimeter di dindingnya.

Sejenak Amadhea berpikir. Bentuk rumah itu memang agak aneh dan janggal. Dihitung dari jumlah jendela ruangan di lantai bawah, seharusnya masih ada satu ruangan lagi. Kebetulan dinding ruangan itu sekarang berada di depan Amadhea, tapi tidak ada pintu untuk masuk ke ruangan tersebut.

Amadhea keluar rumah menuju ke jendela yang tidak memiliki ruangan itu. Ia mengintip ke jendela. Tampaknya ada gorden yang menutupi jendela tersebut. Amadhea mencoba membuka jendela itu, tapi tidak bisa dibuka. Mungkin dipaku dari dalam ruangan.

Gadis itu kembali ke rumah. Ia menggeser meja itu dari dinding berikut lukisannya. Amadhea meraba-raba dinding tersebut. Ada bagian yang terbuat dari kayu tepat di atas lubang persegi tadi. Amadhea merobek kertas dinding dan kini ia melihat sebuah pintu yang dikunci dengan gembok besar.

"Kenapa pintunya di sembunyikan? Apa ada sesuatu di dalam?" gumam Amadhea. Ia menunduk dan mengintip ke lubang persegi yang ternyata lubang tersebut adalah lubang yang sengaja dibuat di pintu. Amadhea tidak bisa melihat apa pun, sepertinya lantai di dalam ruangan itu lebih tinggi dari lubang di bawah pintu, jadi Amadhea tidak bisa melihat apa-apa. Namun, krayon bisa masuk jika pintu agak didorong dari dalam. Sehingga krayon tersebut akan keluar lewat celah dan melewati batas lubang tersebut.

Pertanyaannya, siapa yang mengeluarkan krayon dari ruangan itu? Siapa yang mendorong pintunya?

👻👻👻

11.34 | 1 September 2021
By Ucu Irna Marhamah

SURREPTITIOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang