Part 51

45 6 0
                                    

Pagi harinya, Sudarman membuka kunci pintu kamar Nino. Ayuni masuk ke kamar itu dengan nampan berisi makanan untuk sarapan Nino. Melihat Nino terkapar dengan wajah memucat dan darah menggenang di lantai, Ayuni terbelalak.

"Nino?!" Nampan berisi makanan itu jatuh ke lantai dan berserakan. Ayuni mengguncangkan tubuh putranya yang sudah tak bernyawa itu.

"Nino!"

Mendengar suara istrinya berteriak dan menangis, Sudarman masuk. Ia terkejut melihat darah di mana-mana. Pandangannya tertuju ke dinding. Semuanya merah karena krayon. Namun, beberapa di antaranya ada yang warna merahnya berbeda. Itu adalah darah Nino. Karena kehabisan krayon, Nino menggunakan darahnya sendiri untuk menulis di dinding sampai ia menghembuskan napas terakhirnya karena kehabisan darah.

MAMA, PAPA, MAAFKAN AKU, TOLONG KELUARKAN AKU DARI SINI!!!

MAMA TOLONG JANGAN KUNCI AKU DI SINI!! AKU TAKUT!!

PAPA MAAFKAN AKU!!

AKU MOHON KELUARKAN AKU DARI SINI!! DI SINI DINGIN DAN MENAKUTKAN!!!

Sudarman dan Ayuni menguburkan jasad Nino diam-diam di suatu tempat yang jauh. Meski pun begitu, mereka menguburkannya dengan layak dan dibantu oleh pemuka agama.

Dalam perjalanan pulang, Sudarman tampak serius menyetir, sementara Ayuni menangis dalam diam. Tatapannya kosong. Ia merasa telah kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya, separuh jiwanya yang hilang.

Karena kematian Nino, Ayuni benar-benar terpukul. Ia menghabiskan hari-harinya di dalam kamar Nino, menangisi kepergian putra tunggalnya itu. Ia memeluk pakaian putranya, tidur di kamar putranya.

Dengan tidur, Ayuni baru bisa berhenti menangis. Ketika ia bangun, maka wanita itu akan menangis lagi dan lagi.

Sudarman tidak bisa melakukan apa-apa. Ia membiarkan Ayuni melakukan apa yang wanita itu inginkan. Sudarman tidak bisa menegur dan memaksa istrinya untuk tidak bersedih, karena mau bagaimana pun juga, Ayuni sangat menyayangi Nino. Itulah sebabnya Ayuni belum bisa merelakan kepergiannya.

Hari ke-20 setelah kematian Nino.

Pulang kerja, Sudarman memasuki kamar Nino. Ia melihat Ayuni tertidur pulas di ranjang kecil itu. Matanya sembab menandakan kalau wanita itu tidak berhenti mengeluarkan air matanya sebelum tidur.

Ada banyak kertas di meja. Sudarman mengambilnya dan melihat satu per satu gambar dalam kertas tersebut. Ternyata putranya sangat suka menggambar. Meski pun hanya gambar anak berusia 7 tahun, tapi gambar-gambar itu memiliki kesan mendalam. Kebanyakan gambarnya adalah gambar keluarga yang bahagia. Ayah, ibu, dan anak laki-laki.

"Itulah sebabnya Ayuni suka membeli banyak krayon dan pensil gambar," gumam Sudarman.

Namun, ada satu gambar yang membuat kedua alis Sudarman terangkat. Yaitu gambar pria berjas sedang membawa kue di tangannya. Di bawahnya tertulis, "Selamat Ulang Tahun, Papa."

Entah kenapa, tapi tiba-tiba mata Sudarman menjadi perih. Butiran bening itu menggenang di pelupuk matanya. Namun, yang menetes ke kertas tersebut adalah darah. Sudarman terkejut, ia mengusap air matanya, tapi memang air mata, bukan darah.

Darah lebih banyak menetes ke kertas yang ia pegang membuat gambarnya terhalang cairan kental berwarna merah itu. Sudarman mendongkak menatap langit-langit kamar. Tidak ada apa-apa.

Tiba-tiba sekelebat bayangan anak kecil melintas di depan pintu kamar yang terbuka. Sudarman menoleh ke pintu. Ia mengerutkan dahinya. Pria itu meletakkan kertasnya ke meja lalu melangkah pelan menuju ke pintu.

Semakin dekat, semakin dekat.

"Aaa!" Sudarman berteriak kaget saat sosok wanita muncul di ambang pintu. Ia merunduk ketakutan.

"Kenapa, Mas?" ternyata Ayuni yang muncul.

Sudarman mendongkak menatap istrinya yang juga menatap bingung padanya. Pria itu benar-benar terkejut. Ia menoleh ranjang yang kosong lalu menatap pada Ayuni.

"Ke-kenapa kamu bisa di luar? Bukannya tadi tidur di situ?" tanya Sudarman sambil menunjuk ranjang.

Ayuni mengernyit. "Mas sendiri ngapain di sini?"

Sudarman gelagapan. "Aku... aku hanya ingin melihat keadaan kamu yang tiduran di sini tadi. Aku melihat kamu tidur di sini, beneran!"

Ayuni tidak memberikan tanggapan. Ia pun masuk ke ruangan itu melewati suaminya lalu duduk dan membereskan kertas yang berserakan di meja.

"Malam ini tidur di kamar kita, ya," bujuk Sudarman.

Ayuni tidak menjawab.

"Ayuni, mau sampai kapan kamu tidur di ruangan ini?" gerutu Sudarman.

Ayuni masih diam, tidak berniat menjawab.

"Ayuni!" Sudarman terlihat marah, karena istrinya tidak kunjung menjawab. "Pergi ke kamar sekarang juga!"

Ayuni tetap tidak merespon. Sudarman menarik lengan istrinya agar berdiri. Ayuni meringis tertahan.

"Kamu tidak mau menuruti perintah suamimu?!" bentak Sudarman.

Ayuni menatap suaminya dengan tajam. "Kenapa aku harus menuruti perintah kamu, Mas, sementara Mas tidak pernah menuruti permintaanku."

"Ayuni, aku suamimu! Kepala keluarga di rumah ini! Kamu harus mendengarkan apa yang aku perintahkan!" ucap Sudarman.

"Begitukah? Jadi, pernikahan itu artinya suami boleh memberikan perintah pada istrinya, sementara istrinya tidak bisa meminta apa pun dari suaminya? Kalau peraturan pernikahan seperti itu, wanita tidak akan mau menikah, karena mereka tidak memiliki hak apa pun di bawah perintah suaminya," kata Ayuni.

"Memangnya apa yang kamu inginkan?! Dari dulu semua permintaan kamu selalu aku turuti!" gerutu Sudarman.

"Aku pernah meminta padamu untuk memberikan kasih sayang pada Nino seperti seorang ayah, aku juga memintamu agar kamu mempublikasikannya sebagai anak kita, aku memintamu menjadi sosok ayah yang baik bagi anakmu satu-satunya!" teriak Ayuni.

"Ayuni!"

"Kenapa?!" Ayuni menatap marah pada suaminya. "Karena aku wanita dari keluarga miskin, kamu bisa seenaknya padaku?! Aku juga manusia! Aku istrimu! Aku seorang ibu!"

Tangisan Ayuni pecah. Sudarman merasa bersalah melihat istrinya menangis histeris seperti itu. Sebelumnya ia sering melihat Ayuni menangis, tapi kali ini Ayuni benar-benar terlihat kesakitan teramat dalam dan penuh keputusasaan. Wanita itu sudah tidak bisa membendungnya lagi.

Sudarman memeluk Ayuni dengan erat, tapi Ayuni mendorong dada suaminya. "Jangan sentuh aku! Apa pun yang Mas lakukan tidak bisa membuat Nino kembali hidup!"

"Maafkan aku, Ayuni." Sudarman tetap memeluknya dengan erat.

"Seandainya kamu tidak menguncinya di ruangan sialan ini, mungkin dia masih hidup sampai sekarang! Aku menyesal tidak membawa Nino pergi saja agar dia tidak menderita karenamu!" tangis Ayuni.

Sudarman mengeratkan pelukannya. "Maafkan aku."

Ayuni mendorong Sudarman agar keluar dari kamar tersebut. Ia menguncinya dari dalam.

Sudarman menghela napas berat. Ia pun pergi menaiki tangga menuju kamarnya.

Jam menunjukkan pukul 11 malam. Ayuni sudah tidur lelap dengan mata sembab. Tangan pucat dan mungil itu muncul dan memeluk perutnya. Terlihat anak laki-laki  dengan warna mata putih semua memeluk Ayuni dari belakang.

👻👻👻

07.39 | 1 September 2021
By Ucu Irna Marhamah

SURREPTITIOUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang