Setelah menjenguk Aulia, Amadhea berpamitan pada ayah dan ibunya Aulia.
Sebelum Amadhea pergi, Irma memberikan satu rantang besar berisi makanan pada Amadhea. "Terima kasih sudah menjenguk Aulia, dia pasti senang kamu datang. Oh, ya, Tante ada sedikit makanan. Di makan, ya."
"Oh, terima kasih Tante Irma, saya malah ngerepotin, ya." Amadhea menerimanya dengan ragu.
"Tidak apa-apa, kamu sibuk sekolah, kan? Pasti jarang memasak. Lain kali kalau belum memasak, datang saja ke mari, kita makan bareng, ya."
"Terima kasih, Tante."
Sesampainya di rumah, Amadhea membuka rantang besar tersebut. Isinya ada nasi, rendang, sop ayam, mie goreng, 2 telur rebus, dan ada tempe serta tahu goreng.
Amadhea yang sudah kelaparan menyantap makanan tersebut dengan lahap. Sambil makan, Amadhea menangis. Ia merindukan ayah dan ibunya. Ibunya yang suka memasak makanan enak dan ayahnya suka memanjakannya, membeli semua yang Amadhea inginkan.
Tapi, semua itu kini tinggal kenangan.
Amadhea berhenti menyuapkan makanan ke mulutnya. Ia melelapkan kepalanya ke kedua tangan yang terlipat di atas meja lalu menangis sesegukan.
Keesokan harinya, Amadhea bangun agak siang, karena hari ini ia kebagian sesi 2 lagi. Gadis itu membersihkan rumah seperti biasa. Ia menyapu lantai. Amadhea mengernyit melihat ada 2 krayon merah di lantai, di tempat yang sama saat kemarin menemukan krayon merah itu.
Amadhea mengambil krayon itu dari lantai. Tampaknya bukan dua buah krayon, tapi satu krayon yang patah terbagi menjadi dua. Amadhea mendongkak menatap langit-langit ruangan tersebut. Kalau-kalau krayon tersebut jatuh dari atas, agak mustahil, karena tidak ada bagian plafon yang berlubang.
Gadis itu tidak mau banyak berpikir. Ia membuangnya ke wadah sampah. Setelah itu, Amadhea berangkat ke sekolah.
Dalam waktu dekat, SMA Germada akan melaksanakan ulangan akhir semester satu berbasis komputer.
Pulangnya, Amadhea diantar oleh ayahnya Zahra lagi. Sesampainya di rumah Amadhea, terlihat beberapa orang berdatangan ke rumah Aulia.
"Apa ada yang meninggal?" Tanya Pak Ahmad.
Amadhea tampak khawatir apalagi setelah melihat bendera kuning yang tertancap di pohon mangga di depan rumah Aulia.
Aulia meninggal dunia.
Pak Ahmad dan Zahra turun dari mobil. Mereka mampir dulu dan membantu keluarga Aulia memakamkan putri mereka. Irma tampak menangis histeris dan beberapa kali pingsan.
Amadhea menitikkan air matanya melihat jenazah Aulia yang sudah dipakaikan kain kafan. Zahra merangkul Amadhea.
Setelah jenazah Aulia dimakamkan, Amadhea menemui ibunya almarhum yang masih bersedih. Mereka saat ini berada di kamar mendiang Aulia.
Wanita paruh baya itu tersenyum sendu. "Mungkin ini adalah jalan terbaik dari Allah. Allah sangat menyayangi Aulia, sehingga dia dipanggil lebih dulu. Setidaknya Aulia tidak lagi merasakan sakit."
Amadhea mengusap lembut punggung Irma.
"Sejak lahir, Aulia memiliki metabolisme yang lemah. Dia mudah sakit dan penyakit asma turunan dari Tante membuatnya semakin menderita. Aulia selalu bilang kalau dia iri sama kamu yang bisa bersekolah dan menjalani kehidupan dengan normal. Dia ingin seperti kamu," ucap Irma.
Amadhea merasa sedih mendengarnya.
"Maaf, Tante jadi curhat begini."
"Tidak apa-apa, Tante." Amadhea beranjak dari tempat duduknya. Ia mengambil gelas berisi air di meja untuk diberikan pada ibunya Aulia.
Namun, sesaat pandangannya tertuju ke jendela, tepatnya ke rumahnya di sebelah rumah Aulia. Amadhea melihat sosok wanita menakutkan itu berdiri di jendela kamarnya persis seperti yang diceritakan Aulia. Wanita mengerikan itu mirip dengan wajah yang tiba-tiba muncul di layar laptopnya malam itu.
Beberapa saat kemudian, wanita itu menghilang seolah melebur menjadi partikel-partikel kecil yang tak dapat dilihat oleh mata telanjang.
"Apa Kakak pikir hantu di rumah Kakak hanya satu?" Kata-kata Aulia masih terngiang di telinganya.
Amadhea membatin, apakah dia yang paling jahat? Yang paling kuat? Jika lebih dari satu, berarti Aulia pernah melihat yang lain selain hantu wanita berwajah terbakar itu. Aku hanya perlu mengabaikan mereka, kan? Tapi, kenapa hantu itu mengganggu bahkan sampai membunuh Aulia? Aulia adalah gadis yang baik. Seharusnya dia membunuhku, karena selama ini aku yang tinggal satu rumah dengannya.
Keesokan harinya, Amadhea bangun pagi. Ia bersiap pergi ke sekolah, karena kebagian sesi 1 lagi. Sebelum pergi, gadis itu memakai jaket karena hari ini suhu terasa dingin. Tidak lupa Amadhea juga memakai masker dan membawa hand sanitizer.
Di kantin, Amadhea membeli roti. Ia melihat Greeta sarapan seperti biasa. Gadis itu pun duduk di samping Greeta.
"Kamu sendirian? Yang lain ke mana?" tanya Amadhea.
"Alinda dan Zahra belum datang," jawab Greeta.
"Oohh." Amadhea membuka maskernya kemudian ia menyantap roti coklat tersebut.
Tak lama kemudian, Alinda dan Zahra memasuki kantin. Mereka berbincang sambil sesekali tertawa. Mereka melambaikan tangan pada Amadhea kala menyadari keberadaan gadis itu.
Amadhea juga melambaikan tangannya.
"Jangan ada yang menghabiskan donat dan nasi kuningku!" Tiba-tiba Greeta muncul menyusul Alinda dan Zahra.
Amadhea membeku. Kalau Greeta datang bersama Alinda dan Zahra, lalu siapa siswi yang duduk di samping Amadhea?
Dengan mengumpulkan keberanian, Amadhea menoleh ke sampingnya. Tidak ada siapa pun hanya dirinya di bangku itu.
Alinda dan Zahra duduk bersama Amadhea, sementara Greeta membeli makanan untuk sarapannya.
"Kamu datang pagi sekali," ucap Alinda pada Amadhea.
Amadhea tersenyum kaku. "Sebenarnya aku tidak bisa tidur semalam."
"Apa karena tetanggamu meninggal dunia?" tanya Zahra.
Amadhea mengangguk. "Sepertinya begitu, kami cukup dekat. Rasanya seperti mimpi buruk saat mengetahui Aulia telah meninggal."
Zahra mengusap bahu Amadhea.
Greeta membawa dua piring berisi nasi kuning kemudian meletakkannya ke meja. "Nitip sebentar, jangan dimakan."
Setelah berkata demikian, ia berlalu dan mengambil satu piring penuh berisi gorengan kemudian duduk di samping Alinda.
Greeta melirik teman-temannya. "Kalian mau? Ambil masing-masing satu, ya."
"Aku sudah kenyang," kata Amadhea sambil menunjukkan kemasan rotinya.
"Aku sudah sarapan tadi," sahut Zahra.
"Aku iri padamu," ucap Alinda pada Greeta.
"Kenapa? Karena aku punya banyak makanan?" tanya Greeta.
"Mau makan sebanyak apa pun, kamu tidak pernah gendut. Beda lagi kalau aku yang makan sebanyak itu. Bahkan minum air putih satu gelas pun bisa membuat perutku buncit," ujar Alinda.
Greeta menggeleng. "Kamu nggak gendut, kok. Siapa yang bilang kamu gendut? Sini bilang sama aku, nanti aku jewer telinganya."
"Ibuku," jawab Alinda cepat.
Zahra dan Amadhea menahan tawa melihat ekspresi wajah Greeta yang berubah masam setelah mendengar jawaban dari Alinda.
Ya, ibunya Alinda terkenal sangat galak.
"Oh, sepertinya kamu memang harus mendengar kata-kata ibumu."
👻👻👻
05.50 | 1 September 2021
By Ucu Irna Marhamah

KAMU SEDANG MEMBACA
SURREPTITIOUS
HorrorSURREPTITIOUS by Ucu Irna Marhamah Amadhea Claresza mendadak bisa melihat sosok-sosok makhluk halus di rumahnya, padahal sebelumnya ia tidak bisa melihat kehadiran mereka di sekitarnya. Gangguan-gangguan dari makhluk-makhluk itu membuat Amadhea pe...