58.

293 9 0
                                        

Wajah Rayina terlihat kesal menatap Reygan yang duduk di depannya menggunakan kursi roda. Yaps, cowok itu harus menggunakan kursi roda ke taman sebab Rayina terus mengoceh saat dirinya ngotot untuk tak menggunakan alat itu.

Di depannya, Rayina berdiri dan menatap Reygan tak suka. Cewek itu marah sangat marah terhadapanya. Bisa-bisanya cowok itu membuat lelucon yang harus mengikutsertakan nyawanya sendiri. Padahal saat mendapati kabar bahwa Reygan telah meninggal, Rayina sangat takut dan panik hingga melupakan dunianya.

"Lo udah gila, hah? Lo pikir lucu ngelakuin hal kayak tadi? Lo tau, gue udah takut banget dapat kabar kalau lo meninggal. Lo nggak ngerti gimana perasaan gue saat itu, Rey! Anjing banget lo."

"Jangan marah-marah ihh. Nggak baik lo marah-marah di hari ulang tahun lo sendiri. Harusnya lo tuh bahagia bukannya marah-marah kayak gini. Lo kayak emak-emak kalau lagi marah. Enek gue liatnya."

Mata Rayina melotot mendengar jawaban terakhir yang Reygan lontarkan. Disini siapa yang salah? Pantaskah Reygan melontarkan kata-kata itu?Harusnya, Rayinalah yang lebih pantas mengatai Reygan sekarang.

"Jangan marah-marah lagi yah. Intinya gue baik-baik aja sekarang. Dan gue udah tepati janji kan?"

"Tapi cara lo salah, anjing. Kalau lo mau kasih kejutan jangan yang ektrim kayak gini. Lo buat gue panik setengah mati tau nggak!" kesal Rayina.

"Iya deh gue minta maaf yah," ucap Reygan dengan nada yang dibuat seimut mungin untuk membujuk Rayina.

"Sekarang gue mau nanya. Kenapa lo nekat ngelakuin hal kayak gini sih? Sumpah, ide lo gila banget. Siapa yang bantuin lo rencanain semuanya?"

Reygan menerawang mengingat bagaimana ia merencanakan semuanya.

"Jadi gini...."

Reygan mulai bercerita jika dirinya sudah sadar semenjak Rayina mendatanginya kemarin. Hanya saja cewek itu tak menyadarinya. Setelah itu, Reygan kembali tertidur dan baru terbangun pada malam hari. Awalnya cowok itu ingin memberi tahu Rayina jika ia sudah sadar. Tapi entah dirasuki oleh siapa, ide gilanya tiba-tiba muncul dalam benak Reygan. Lidia sempat menolak saat putranya itu megutarakan idenya. Tapi setelah cowok itu membujuk dengan banyak pertimbangan, wanita paruh baya itu menyetujuinya dengan syarat Reygan harus menginap selama seminggu di rumah sakit untuk menjalankan pengobatan.

"Tungu-tunggu, rencana itu hanya Bunda dan lo aja yang tau? Terus yang tadi, kenapa Alia ngomong kalau lo udah pergi? Jangan bilang kalian semua kerja sama ngeprank gue?

"Lah bukan salah gue," celetuk Alia membela dirinya. "Tadi itu gue mau bilang kalau Reygan udah membuka mata. Ehhh... lo malah main pergi gitu aja. Yah jadi bukan salah guelah kalau kayak gitu."

Rayina menahan diri untuk tidak marah saat itu juga. Sungguh, semuanya membuat cewek itu geram dan kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan perbuatan teman-teman dakjalnya itu.

"Fine, gue akui lo semua hebat," tuturnya diakhiri dengan tawa sinis.

"Jangan marah sama mereka. Yang salah gue bukan sahabat lo. Gue yang minta mereka kerja sama. Lo---"

"Nggak usah ngomong lo. Enek gue dengarnya!"

Sontak Reygan diam saat Rayina membentaknya. "Lo marah sama gue?"

"Menurut lo?"

"Huft... kalau tau bakal kayak gini, gue nggak mau bangun dah. Lebih baik gue koma lebih lama lagi. Nggak guna juga gue ada disini sekarang. Yang ada gue dimarahin mulu. Emang yah jadi gue itu serba salah," keluh Reygan.

"Ihhhh... jangan ngomong gitu ahh. Yaudah deh gue maafin lo. Tapi ini yang terakhir yah. Awas aja kalau lo ulangin lagi."

Reygan tersenyum menang. Ternyata gampang sekali meluluhkan hati sang kekasihnya itu. "Makasih Lampir."

Reygan & Rayina (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang