18.

439 44 119
                                    

"Rey bangun. Kita udah sampai," ucap Rayina mengoyang bahu Reygan agar cowok itu terjaga dari tidurnya. Cewek itu mengigit bibir bawahnya melihat piluh mulai membasahi kening Reygan. "Rey, lo dengar gue kan?" tanyanya.

"Eughh...."

Akhirnya legukan Reygan terdengar disusul dengan matanya yang perlahan terbuka. Dengan segera, Rayina membantu Reygan keluar dari mobil dan menuntun cowok itu melangkah memasuki rumah. Setelah memencet bel beberapa kali, sang pemilik rumah keluar membuka pintu.

"Iya sebentar," jawab Lidia dari dalam. "Siap--" seketika mata wanita paruh baya itu membola melihat Putranya dalam kondisi yang sudah jauh dari kata baik-baik saja dalam dekapan seorang gadis. "Ini kenapa?"

"Katanya pusing, Tante. Suhu tubuhnya juga panas banget. Kayaknya dia demam deh. Tadi juga di sekolah dia sempat mimisan dan batuk berdarah," jelas Rayina.

"Yaudah, tolong bantu anterin Abang ke kamar yah sayang," ajak Lidia dengan mimik khawatir akan kondisi putranya sambil menuntun Rayina menuju kamar Reygan.

Sampai di kamar, Lidia membantu Rayina membaringkan tubuh lemah Reygan. "Tan, boleh minta kompresan nggak?" tanya Rayina sambil membentang selimut menutupi tubuh cowok itu.

"Bentar sayang, Tante ambilin dulu."

Tak lama setelahnya, Lidia kembali dengan membawa wadah berisi air kompresan. "Nggak papa kan Tante tinggal bentar? Tante mau buatin bubur buat Abang," tanya Lidia meletakkan wadah itu di samping Rayina.

"Nggak papa Tan, Reygan biar saya yang jaga," jawab Rayina sambil meletakkan kompresan pada kening cowok itu.

"Yaudah, kalau gitu Tante ke dapur dulu yah," pamit Lidia.

Setelahnya, diam-diam Rayina memperhatikan raut wajah Reygan. Seluruh tubuh cowok itu dibasahi keringat dingin. Sesekali keningnya mengerut dalam menahan pening yang menikam kepalanya.

Hati Rayina tersentuh. Dengan telaten, tangannya terulur menghapus piluh itu dengan hati-hati takut jika pergerakannya membuat Reygan terganggu. "Kenapa gue harus khawatir liat lo kayak gini?"

###

Di sebuah ruangan dengan cat abu pada dindingnya, seorang cowok masih terlelap dengan damai. Tidurnya seakan tak diusik dengan kehadiran cewek disampingnya. Suhu tubuhnya belum stabil, membuat seluruh anggota rumah prihatin akan kondisi cowok itu.

Kompresan yang Rayina berikan tak ampuh menurunkan demam Reygan. Namun, hal itu tak membuat Rayina menyerah menunggu Reygan membuka mata. "Sorry... harusnya gue kasih tau lo soal ini lebih awal..." lirih Rayina. "Kapan lo buka mata, hm?"

Tak ada jawaban dari Reygan. Rayina menghembus nafas kasar mendapati hal itu. "Rey, bangun. Nggak kasian sama keluarga lo yang daritadi nungguin lo buka mata? Lo nggak kasian sama gue? Gue capek nungguin lo dan... gue nyesel. Bangun, bego!"

"ABANG!!!"

Suara itu membuat tubuh Rayina menegang. Lantas, apa yang akan ia katakan kepada Aira perihal kondisi Reygan? Beberapa waktu lalu, Lidia telah memberitahu Rayina akan perasaan khawatir yang Aira miliki jika Reygan mengalami masalah.

"Woy Abang Es, Rara cangtip pulang nih! Lo mah tega ninggalin gue di sekolah!!!" teriak Aira dari ruang tamu menggunakan suara toanya. "Aneh. Kenapa Abang nggak ngomel? Biasanya kalau gue teriak, Abang bakal ngamuk. Tuh makhluk tidur kali yah?" monolognya pada diri sendiri. "Woy Abang kampret, udah mati lo?"

Reygan & Rayina (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang