"Suster tolong siapkan ruang operasi sekarang. Pasien harus segera dioperasi."
"Baik Dok."
Rasa takut dan bimbang terasa menghinggapi l dirinya saat pasien yang ia tangani tak kunjung memberi respon pada EKG itu. Pemompaan demi pemompaan dilakukan terus menerus agar detak jantung itu kembali bekerja. Kini, keringat mulai membasahi pelipisnya kalah bunyi panjang itu terasa mengusik indra pendengaran.
"Suster, siapkan defibrilator sekarang."
"Baik Dok."
2 jam telah berlalu. Operasi yang ia lakukan pun berhasil. Pasien yang ia tangani berhasil selamat setelah mengalami henti jantung selama beberapa saat. Jika ditanya bagaimana perasaannya mengalami hal itu, tentu saja jawabannya ialah hal tersebut sangat menegangkan. Menjadi dokter bukanlah perkara yang mudah untuk ia tangani, sebab di tangannya nyawa pasien dipertaruhkan.
Setelah melakukan semua tugasnya dengan baik, Reygan keluar dari ruangan itu dan terlihat masih mengenakan jas putih dan pakaian operasinya. Yah, cowok itu telah tumbuh dan menjadi dokter di rumah sakit ayahnya sendiri. Bahkan ia menjadi dokter muda yang terbilang sangat unggul berkat kecerdasan yang ia punya.
"Dia lagian ngapain yah? Telepon aja deh," gumamnya sambil meraih ponsel hendak menghubungi seseorang.
"Hello," sapa orang itu lewat sambungan telepon.
"Kamu sibuk?"
"Nggak. Kerjaan aku udah beres di kantor. Kenapa emangnya?"
"Ketemuan yuk. Aku kangen sama kamu."
"Ya ampun Rey, tadi pagi kan kita udah ketemu. Emang kamu nggak ada jadwal operasi?"
"Justru karena itu. Barusan aku keluar dari ruangan operasi. Tenaga aku terkuras semua. Aku butuh penyemangat sekarang."
"Cih, lemah tau nggak."
"Nggak papa. Yang penting sama pacar sendiri. Andai aja kamu tau gimana rasanya berdiri di ruangan itu selama beberapa jam, pasti kamu juga bakal sama kayak aku sekarang. "
Terdengar helaan napas berat dari seberang telepon kalah Reygan berbicara dengan nada lemah nan manjanya.
"Ya sudah, kita ketemuan dimana?"
"Yes, di tempat biasa aja," jawab cowok itu dengan riang lalu mematikan sambungan telepon kemudian berlari menuju mobilnya terparkir.
30 menit kemudian...
Seorang cewek terlihat tengah melangkah memasuki restoran itu dengan langkah anggun yang ia ambil. Kakinya perlahan berpijak menuju meja langganannya dimana sang kekasih telah menunggu sejak lama. Cewek itu tersenyum melihat Reygan merentangkan tangannya sambil tersenyum lebar meminta sebuah pelukan hangat.
"Ahh... aku kangen sama kamu."
"Nggak usah lebai. Baru aja pisah selama 6 jam kamu udah merengek kayak gini."
"Tapi 6 jam buat aku tuh lama, baby. Itu sama aja dengan 360 menit, 21.600 detik dan 1/4 hari buat aku. Kamu tau itu lama banget. Lamanya kayak 1 abad, 100 tahun, 1.200 bulan, 432.000 hari, 10.368.000 jam dan___"
'Udah cukup Dokter Reygan. Makasih buat penjelasannya."
"Lo mah nggak seru!" Reygan membuang muka melihat respon Rayina yang biasa-biasa saja. Tapi harus bagaimana lagi cewek itu memberi respon? Toh, semuanya terasa sama saja, tidak ada yang spesial menurutnya. Satu hal lagi, Reygan telah mengganti sapaan mereka dengan sebutan lo/gue. Jika sudah begini, Rayina harus membujuk cowok itu agar moodnya segera kembali. Seperti bayi saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Reygan & Rayina (END)
Teen FictionMengisahkan tentang pertemuan dua insan karena suatu insiden yang tak terduga, yang mana insiden itu membuat mereka saling terikat satu sama lain tanpa disadari. "Lo gila hah!" "Maaf..." "Akal sehat lo mana, Rey?" "Gue takut!" Deg... Rayina mendeka...