Dengan gerakkan lamban, Reygan membuka matanya pelan-pelan. Hal pertama yang ditangkap oleh indra penglihatannya adalah cahaya lampu ruangan serba putih dengan bau khas obat-obatan. Cowok itu mengedipkan mata kalah pusing kembali menyerang area kepalanya. Setelah dirasa cukup, Reygan meraih masker oksigen yang melekat pada hidungnya dan menyingkirkannya keluar. Tak putus sampai disitu, cowok itu berusaha bangun untuk duduk dengan bersadarkan di headboard brankar. Disaat itulah rasa sakit kembali mendera kepalanya. "Shit!""Nggak usah dipaksa kalau lo nggak mampu," sahut Rayina terjaga dari tidurnya semenjak Reygan berusaha bangun.
"Gue pengen duduk," tutur Reygan.
Rayina sendiri memutar bola matanya malas. "Lo punya mulut kan? Kenapa nggak minta tolong?"
Reygan diam. Pernyataan Rayina membuatnya sedikit tersadar. Tak lama setelahnya, gadis itu berdiri dan merapikan pakaiannya. Reygan mengenyit bingung, apakah gadis itu akan pulang saat itu juga? Lantas mengapa ia merasa takut?
"Sini, gue bantuin lo duduk," tutur Rayina. Reygan tertegun. Ternyata gadis itu tak meninggalkan dirinya sendiri.
"Nanti lo kerepotan."
"Nggak. Gue merasa nggak direpotkan. Sini gue bantuin."
"Gue berat."
"Ya elah, kayak gini aja lo harus pakai banyak alasan buat nolak? Gue nggak bakal nyakitin lo kok. Gue cuman berniat bantuin. Gini deh, anggap aja ini adalah balasan dari gue buat untang budi lo kemarin sama hari ini. Jadi gimana? Mau gue bantuin nggak?"
Reygan bergeming beberapa saat sebelum cowok itu mengangguk setuju. Setelah berhasil memposisikan dirinya dalam keadaan duduk, Reygan membuka suara. "Thanks dan maaf buat kata-kata gue kemarin."
Rayina menoleh lalu menatap mata Reygan mencari kebohongan disana. Dan yang dia dapatkan hanyalah ketulusan dari cowok itu. Mencoba menarik nafas dalam, Rayina memejam matanya sebelum menjawab ucapan Reygan. "Soal kemarin, gue nggak berniat marah sama lo. Gue... gue cuman nggak mau lo memperlakukan gue kayak cewek kemarin. Dan gue minta maaf kalau kata-kata gue udah berlebihan. Sumpah, gue sama sekali nggak berniat lakuin itu."
Reygan mangut-mangut mengerti mendengar penjelasan Rayina. "Emm... lo kan udah sadar jadi nggak papa kalau gue pulang sekarang?" tanya Rayina. Yang ditanya hanya menganggukkan kepala mengiyakan. Setelahnya gadis itu meraih tas dan berlalu dari ruangan Reygan.
Derap langkah Rayina menggema di sekitar koridor rumah sakit. Dengan menggunakan earphone, gadis itu melantukan lirik-lirik lagu yang diputar pada ponselnya. "Huft... akhirnya kita pulang Ray," tuturnya saat akan menyalakan mesin mobil.
Jadikan ini perpisahan yang terakhir yang indah dalam hidup Mu sepanjang waktu.
Rayina ikut melantunkan lirik lagu yang diputar sementara matanya yang sipit terarah fokus ke jalanan.
Drett...
Rayina menoleh mendengar getaran ponsel. Tapi tunggu, ponselnya berada dalam kantung seragamnya. Lantas ponsel siapa yang bergetar dalam tasnya? Merasa bingung, Rayina memarkir kan mobilnya ke tepi jalan. Diraihnya benda pipih itu lalu mengeceknya. Tak lama gadis itu mengumpat kecil menyadari ponsel itu milik Reygan. "Berarti gue harus putar balik? Aduhh Rayina, kenapa lo goblog banget sih?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Reygan & Rayina (END)
Ficção AdolescenteMengisahkan tentang pertemuan dua insan karena suatu insiden yang tak terduga, yang mana insiden itu membuat mereka saling terikat satu sama lain tanpa disadari. "Lo gila hah!" "Maaf..." "Akal sehat lo mana, Rey?" "Gue takut!" Deg... Rayina mendeka...