Part 41: Kampungnya Kila

7.3K 410 2
                                    

°°°

"Besok kalian ke Bali ta, Nduk?" Ibu menaruh gelas minuman teh ke atas nampan yang sudah dibersihkan Kila.

"Iya bu, sebenarnya Aksa menurut saja aku maunya kemana." Jawab Kila sambil membuka bungkus camilan

"Oh, kelihatannya Aksara memang niat mau punya anak secepatnya." Ibu Kila tertawa.

"Didoain saja ya bu, supaya Aku dan Aksa cepat punya anak."

Tapi, Kila jadi berpikir, padahal tidak usah ke Bali mereka juga sering buat anak di kamar sendiri.

"Nduk, kamu masih manggil Aksara pakai nama?" Tanya ibunya lagi.

Kila menaikan alisnya. Memangnya ada yang aneh? Saat masih kerja Kila memang memanggilnya pak Aksa. Tapi Aksa sendiri minta Kila memanggil namanya. Kila tidak tahu apakah ada aturan setelah menikah harus memanggil namanya yang lain?

"Biasa aku panggilnya pak Aksa..."

"Lah, dia bukan bosmu lagi nduk. Dia suamimu."

Kila tidak menjawab, dia langsung mengangkat nampan itu ke depan teras.

Aksa tampak berdiri di kebun depan rumah. Aksa mengangguk mendengarkan Ayah Kila bercerita, seperti biasa ayah selalu membanggakan kebun-kebunnya yang subur di halamannya. Kila meletakan nampan di meja teras.

"Apa kamu mulai tertarik berkebun, Aksa?" Tanya Kila.

"Hm... ide bagus sih, Nanti kalau kita sudah punya rumah tinggal, bisa kita berkebun."

"Tuh pak, Kila panggil suaminya pakai nama kan?" Sahut ibu.

Kila membesarkan matanya. Astaga, ibunya masih mempermasalahkan soal itu.

"Saya memang menyuruhnya memanggil nama saja bu." Jawab Aksa sambil melirik Kila.

"Apa Kalian kurang mesra?" Tanya Ayah Kila seperti membela ibunya.

"Apa terlihat seperti itu?" Aksa tertawa saja.

"Kalian kan masih pengantin baru. Anak jaman sekarang biasanya ada panggilan mesra." Ibu Kila berceloteh lagi.

Aksa hanya menggaruk dahinya. Panggilan mesra? Anak kucing?
Aksa hampir tertawa.

"Tapi, Kila istri yang manis dan lembut." Puji Aksa.

Kila tahu Aksa bohong untuk menggodanya. Padahal kalau berhubungan seks Kila jauh dari kata mesra. Kila lebih lebih galak dan garang, selalu bikin sensasi menyakitkan sekaligus membuat Aksa ketagihan. Walaupun ending-nya Aksa yang jelas lebih kuat.

"Oh, jangan salah sangka Nak Aksara... Maksud ibu, Nak Aksara kan suaminya Kila, lebih tua. Masa dia panggil nama?" Ibu Kila menepuk jidat Kila.

"Sudah bu, mereka juga belum sebulan menikah, Kila mungkin belum terbiasa." Ayah Kila mengambil teh panasnya.

"Hm, aku mau ajak Aksa jalan-jalan dulu." Kila menarik ujung t-shirt Aksa. Dia malas berdebat.

"Eh, panggil suami masih seperti itu!" Tegur ibunya lagi. Kila terus menarik Aksa cepat-cepat keluar halaman rumahnya.

"Orang tuaku itu banyak ikut campurnya..." Kila berjalan kesal.

"Orang tua kalau sayang anak memang seperti itu." Aksa hanya tertawa. Kila diam saja terus berjalan sambil menarik baju Aksa.

"Kila sudah, nanti bajuku sobek."

Kila menyadari menarik t-shirt Aksa sampai nyaris kelihatan perutnya.

"Maafkan aku." Kila melepaskan tarikannya.

Siang itu, Mereka berjalan menyusuri jalan tanah lebar yang belum di aspal. Tampak di sisi kanan-kiri dipagari Pohon-pohon petai yang besar. Angin bertiup sepoi-sepoi menyenandungkan suara yang menenangkan. Walau panas, tapi kampung Kila itu terasa adem. Aksa melihat Air di Parit-parit pun terlihat sangat jernih mengalir di sekitar kebun-kebun jagung. Aksa kagum dan menyukai daerah tempat tinggal Kila ini. Mereka berdua diam sambil menikmati suasana itu

HADIAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang