°°°
"Pak Remi, mau pulang sekarang?"
Remi berhenti di depan mobilnya, dia melihat handphonenya. Sebuah pesan membuatnya mengurungkan untuk pulang dengan supirnya. Remi tersenyum datar.
"Saya bawa mobil sendiri saja pak." Remi menaruh tas kerjanya di dalam mobil.
"Kalau begitu, saya permisi dulu pak Remi." Remi hanya mengangguk dan mengambil rokoknya.
Hari itu seharusnya dia tidak datang ke kantor, karena kehadiran Aksara saja, Kalandra memintanya untuk hadir di acara kantor siang itu. Dia malah keterusan lanjut kerja sampai malam. Remi mengisap beberapa kali rokoknya, melemparkannya ke tanah dan menginjaknya untuk mematikan rokoknya.
Suara pesan berbunyi lagi dari handphonenya. Sebuah pesan kekecewaan, entah sekarang dia sepertinya sedang menangis. Remi tidak mengerti, sejauh apa Amerta akan terus mengejar Aksara. Remi melemparkan handphone dan segera menyalakan mobilnya.
°°°
Remi mengetuk pintu Apartemen Amerta. Tidak ada jawaban. Remi menunggu sambil menyandarkan badannya di tembok, sambil terus mengetuk pintu itu. Tidak berapa lama, suara pintu terbuka sedikit. Remi mengintip. Ruangan apartemen Amerta berantakan.
"Kamu lagi-lagi menghancurkan semua barangmu?" Remi masuk dengan wajah kebingungan melihat kondisi ruangan apartemen Amerta.
"Kurang ajar sekali istri Aksa itu. Dia berani melempar wajahku!" Teriak Amerta. Dia seperti orang kebingungan, dia mondar-mandir sambil mengomel dan memegang minuman beralkohol di tangannya.
Remi hanya tertawa melihat tingkah wanita muda yang terlihat patah hati itu. Remi menyayangkan hal itu, seharusnya Amerta tahu dunianya sangat luas dan bebas tanpa harus mengutamakan ambisinya untuk mendapatkan Aksara.
"Hei, calm down..." Remi mengambil gelas dari tangan Amerta.
"Aku tidak tahu apa kekuranganku." Amerta merangkul leher Remi.
"Hm..." Remi tidak menjawab.
Awal dia tertarik dengan Amerta, Remi kagum dengan Amerta. Amerta cantik, sangat muda dan berani membuat perusahaannya sendiri. Harusnya dia bisa menjadi pengusaha wanita muda yang besar dan sukses.
"Kamu sangat cantik dan pintar." Jawab Remi sambil memeluk pinggang Amerta yang ramping itu.
"Tapi Aksara tidak berpikir begitu." Celetuk Amerta.
Remi sudah biasa mendengar itu. Dia bahkan yang memberitahu Amerta, Aksara menginap dimana, supaya dia menyadari dan melihat Aksara sudah memiliki seorang Istri. Tapi sepertinya itu tidak memberinya pelajaran untuk menyerah mendapatkan Aksara.
"Kamu harus berhenti memikirkan atau membicarakan Aksara. Dia bahkan tidak pernah perduli denganmu, Amerta."
"Tapi aku tidak bisa." Amerta menatap Remi. Remi menghela napasnya. Dia melepaskan pelukannya.
"Amerta, Aksara sudah punya Istri. Aku sudah bertemu dengan Kila. Bahkan menurutku kamu lebih baik darinya." Remi merapikan beberapa barang yang ambruk di ruangan itu.
"Sudah pasti aku memang lebih baik!" Sahut Amerta berbinar-binar.
"Tapi, Aksara sangat mencintai istrinya." Remi tahu, ekspresi Amerta kembali sedih. Amerta duduk di sofanya, menaikan lututnya dan menutup wajahnya. Hatinya terasa sakit lagi.
"Aku tidak tahu kenapa tidak bisa melupakannya. Mungkin dia cinta pertamaku." Suara Amerta terdengar serak. Remi tidak menjawabnya. Dia merapikan pecahan-pecahan figura foto dengan sepatunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HADIAH
RomanceKila Damaya didiagnosa menderita compulsive sexual behaviour ringan. Dia memutuskan untuk tidak memiliki kekasih hingga dirinya benar-benar menemukan orang yang mengerti dirinya. Tapi Kila kelepasan mengeluarkan sisi liarnya dan meminta Aksa, atasan...