Part 67

1.7K 64 0
                                    

"Alinka",

*Greepp...

Alinka mematung, zalvin dan revan memeluknya? Yang benar saja? Ia tidak percaya.

"Inka maafin kakak", bisik zalvin.

"Maaf", ucap revan.

Tak terasa air mata mengalir turun, alinka merasa semua ini seperti mimpi. Ia pikir setelah lima tahun ia tidak ada, keluarganya akan senang karena anak sialan sepertinya sudah pergi, alinka pikir ayah dan kakak-kakaknya akan membentaknya lagi, memukulnya lagi sedari ia mulai melangkahkan kakinya dirumah ini, ia merasa was was takut semua di masa lalu itu terulang kembali, ia takut kalau deon dan saga juga menghajar mereka.

Tapi sekarang, yang ia dapati adalah wajah kaget ayahnya yang sedang mengalirkan air mata, pun dengan zalvin dan revan yang memeluknya.

Katakan jika ini bukan mimpi, kalau ini mimpi tolong jangan bangunkan alinka lagi.

"Ka-kalian me-meluk inka?", ucapnya terbata.

Zalvin juga revan melepas pelukan mereka pada alinka, mereka mengusap air matanya.

"Iya al ini kak zalvin, maafin kakak yah". Bi iyem yang berdiri dibelakang tersenyum haru melihat alinka-nya merasa bahagia.

"Eh tunggu, kita masuk dulu ayok nak". Ucap bima mempersilakan mereka untuk masuk.

Mereka pun akhirnya memasuki rumah itu, rumah ini hanya berubah catnya saja, warnanya cream dulu berwarna putih.

"Bi bawakan minuman untuk mereka", bi iyem mengangguk dan memasuki dapur.

"Alinka ayah seperti mimpi melihat kamu lagi disini nak", bima duduk disebelah kiri alinka. Sementara disebelah kanan alinka adalah saga.

"Ini bukan mimpi yah, alinka nyata ada disini".

"Ayah sungguh bodoh nak, ayah tertutup dengan cinta ayah sama bunda kamu sehingga ayah tidak bisa melihat penderitaan kamu bahkan lebih dari ayah". Bima menjongkok dihadapan alinka.

"Ayah jangan gini, berdiri yah-"

"Nggak alinka, ayah pantas bahkan ayah sangat berdosa sama kamu nak".

"Ayah mohon maafin ayah, ayah menyesal ayah terlalu dibutakan, tolong maafkan ayah nak".

"Ayah berdiri", bima menggeleng keras.

"Ayah aku bilang berdiri alinka mohon", bima menurut ia bangkit dan duduk kembali disamping alinka.

"Alinka udah maafin ayah, kak zalvin sama kak revan jauh sebelum kalian minta maaf sama inka". Alinka memegang kedua bahu bima.

"Alinka gak marah kok sama kalian, mungkin iya saat itu kalian terlalu dibutakan sampai mukul inka setiap saat, gak papa alinka udah ikhlasin semuanya, alinka selalu bermimpi bisa hidup seperti anak perempuan pada umumnya, disayang sama keluarganya tapi-"

"Tapi mulai sekarang kamu akan merasakan apa yang kamu inginkan selama ini al, kak zalvin revan dan ayah nggak bakal mukul inka lagi, kita bakal sayang sama inka kita akan jagain inka kita akan-"

"Sayangnya semua itu gak akan terjadi",

"Maksud kamu apa deon?", ucap bima.

"Karena alinka kesini cuman menjenguk kalian saja, tidak untuk tinggal lagi dirumah penuh air mata bagi adik saya". Bima membulatkan matanya.

"Inka sayang, yang dikatakan deon gak benar kan? Kamu bakal tinggal lagi disini kan nak? Sama ayah, bareng kak zalvin sama kak revan". Alinka menunduk.

"Maaf yah, untuk tinggal disini lagi inka gak bisa.... Jujur alinka masih menyimpan trauma inka dirumah ini, tapi inka sungguh sudah mengikhlaskan semua itu, hanya saja ingatan ingatan masa lalu inka selalu terpintas dirumah ini". Bima menunduk.

"Baik, itu keputusan kamu ayah gak bisa maksa kamu inka".

"Sekarang kamu tinggal dimana in?", alinka menatap revan.

"Selama lima tahun inka tinggal sama nenek, tapi sekarang nenek udah gak ada".

"A-aapa...", alinka menengadah menahan air matanya.

Neneknya sangat berarti baginya, karena ia alinka bisa bangkit kembali, karenanya dia bisa hidup dengan layak, ia membiayai semua perobatannya selama dilondon hingga ia mendapatkan donor sumsum tulang belakang dari orang baik.

Hingga saat ini, perusahaan nenek alinka dari pihak ayahnya itu jatuh pada tangannya semua aset kekayaan neneknya beralih ditangan alinka.

"Nenek sempet jatuh dikamar mandi, dan dirawat selama tiga hari tapi pas hari keempat nenek mulai menghembuskan nafas terakhirnya". Papar alinka, bima merasa ada sesuatu yang tajam menghunus jantungnya.

Kenapa ia tak tahu jika ibunya meninggal? Kenapa ia tidak diberitahu? Apa ia sudah tidak menganggap dirinya sebagai anaknya lagi?

"Ekhem... Deon tahu fikiran ayah kemana",

"Kami sempat menghubungi nomor ayah, tapi gak ada satu pun panggilan dari kita yang ayah jawab, jadi mungkin apa ayah yang rijek telfon kami?". Bima menunduk dalam, ia menekuk lututnya.

"Waktu itu ayah sedang masa sibuk deon, kantor saat itu diambang kebangkrutan kalau perusahaan lain nggak bantu ayah. Ayah gak tahu kalau kamu telfon ayah, karena saat saat itu ponsel ayah dipegang sama sekertaris ayah, jadi dia yang-"

"Dan log panggilan juga tidak ada nama kamu atau siapa pun, jadi ada kemungkinan si brengsek diven yang melakukan hal ini". Wajah bima memerah seketika, ingatkan ia untuk memecat sekretarisnya itu.

Namun untuk saat ini, ia akan menghabiskan waktu bersama anak anaknya.

"Mama... Papa mereka ini siapa, kita ada dimana?". Ucap nala yang baru bangun dari tidurnya, semua perhatian teralihkan pada sosok gadis kecil yang baru bangun tidur itu.
"D-deon?", deon mengangguk.

Bima menghampiri nala dan memeluk gadis kecil itu, air matanya kembali jatuh. Cucunya dari deon dan dinar, nala.

"Nama kamu siapa sayang?",

"Nala, tapi kakek siapa?".

"Ini kakek kamu nak, kakek ayahnya papa kamu". Nala tersenyum lebar, ia kembali memeluk bima erat.

"Aku kangen sama kakek!", zalvin dan revan yang melihat itu mengusap air matanya.

"Kenapa lo gak kasih tahu sama kita kalau lo udah nikah sama kak dinar, dan udah punya anak segede ini kak?". Ucap revan.

"Gue tahu, kita emang jahat sama kalian apalagi alinka... Tapi apa berita ini atau apa kehadiran kami nggak penting dihari pernikahan kalian?", ucap zalvin.

Deon menatap dua adiknya datar.

"Buat apa gue kasih tahu lo semua, saat itu alinka belum pulih dari kesehatan dan juga mentalnya, gue gak mau sampe alinka ketakutan lihat lo semua".

"Gue pengen yang terbaik buat alinka, dan... Dia maksa gue buat kesini, tadinya gue nggak izinin dia tapi alinka keukeuh". Zalvin revan menatap alinka.

"Alinka...", alinka menatap mereka dengan senyum merekah.

"Udah jangan merasa menyesal kak, udah gak guna lagi karena sekarang kita berada dimasa depan, masa lalu buruk itu harus dibuang sejauh mungkin agar kita bisa memperbaiki hubungan kita". Zalvin memeluk alinka diikuti revan.

"Gue min-"

"Alinka bilang jangan bilang maaf, itu semua harusnya kalian lakukan lima tahun lalu".

"Inka udah ikhlas kok, inka udah maafin kalian semua. Bukannya alinka gak mau dengerin itu semua, tapi inka gak mau keingat kejadian masa lalu".

Banyak yang silent readers jadi males update duh, tapi harus semangat buat pembaca setia cerita ini, makasih ya:)

ALINKA (END) {REVISI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang