36

28 2 0
                                    

Panas

Bukan cuma karena terik matahari yang sampai ke kulit. Tapi yang jomblo pasti panas melihat keuwuan pasangan Azka dan Kiara.

Untung Nata sudah biasa. Dia tahu kalau seorang Azka itu bucinnya gak pernah setengah setengah. Totalitas tanpa batas. Full gak kurang lagi. Memperlakukan pasangan layaknya seorang ratu. Kalau buat cowok sih kesannya lebay. Tapi kalau cewek yang mandang pasti sebutannya jadi, romantis.

Yuk, Kita spill apa aja yang Azka lakukan untuk Kiara hari ini.

Pertama. Sudah di ceritakan sebelumnya. Jika Azka meminta Nata membelikan payung kan. Nah, selanjutnya, saat Nata kembali dengan es kelapa dan payungnya, Azka langsung katakan, "Ayo Nat. Keburu siang ntar makin panas. Kasian Kiara nanti kepanasan."

Padahal Nata masuk kosan aja belum loh. Sendalnya saja belum di buka. "Es nya bawa aja buat di mobil." Begitu kata Azka. Nata bisa apa? Dia sih "Gue ganti sepatu dulu."

"Buru jangan lama."

Huh. Gitu tuh Azka. Gak sabaran nunggu temennya tapi rela nunggu lama buat pacarnya. Eh tapi kalau buat pacar mah harus lah ya.

Kedua, sewaktu Kiara mau masuk mobil, dia buka pintu belakang. "Mau ngapain?"

Eh, "Duduk, lah" mau ngapain lagi?

"Di depan sini, ngapain duduk di belakang?"

Ya niat Kiara kan baik nih, siapa tahu Azka sama Nata mau ngobrol gitu. "Biar kamu sama Nata ngobrolnya enak lah."

"Ya Nata di belakang juga kan masih bisa ngobrol, Yang. Di depan sini, ah. Gak mau jauh jauh sama kamu."

Cih

Kiara berdecih, namun senyuman tak luput dari bibirnya. Padahal cuma gini doang, tapi bisa bisanya bikin Kiara meleleh.

Ketiga, selain perlakuannya yang manis, ada kalanya Azka bertingkah manja. Terekam dengan jelas oleh Nata saat di perjalanan menuju arena kontes, es Kelapa yang Nata belikan tidak ketinggalan cerita.

"Nat, es kelapa."

Langsung Nata berikan pada Kiara yang siap menerima. Tanpa di perintah, Ikat karet itu di buka. Yang kemudian Kiara masukkan sedotan ke dalam plastik es kelapa itu. Di sodorkan langsung sedotan itu pada mulut Azka. Ya sebenernya sih wajar. Sebab kan Azka sedang menyetir. Cuma Azka minumnya belepotan. Jadinya, "Yah, tumpah, Yang."

"Lagian kamunya sih." Nyedot es mulutnya kayak ikan cupang.

"Lap-in, Yang."

Heleeeh. Padahal bisa di seka sendiri. Sedikit kok tumpahnya. Nata sih geleng geleng saja melihat kelakuannya Azka.

Gak sampai di situ.

Sewaktu turun dari mobil pun, perhatian sekecil apapun tidak pernah luput Azka berikan untuk Kiara. Mulai dari dia yang bergegas membukakan pintu, membentangkan payung demi melindungi kulit cantik kekasihnya, jemari yang terus bertaut untuk bergandengan, bahkan sesekali menyeka keringat Kiara di keningnya.

Lebay kan? Tapi Azka masa bodo. Dia suka kok. Dia yang mau seperti itu. Dia juga tidak merasa di repotkan.

Apalagi Kiara juga tidak rewel, meski ini pertama kalinya dia diajak keliling lapangan untuk sekedar melihat lihat. Sebab bukan hanya satu, tapi banyak jenis burung yang di adukan disini.

Di setiap tempat, mereka hanya bisa menonton di balik pagar. Sedang para burung berkicau di dalam sangkar yang di gantung. Dengan beberapa orang yang berkeliling membawa papan catatan. Mungkin itu juri yang menilai. Begitu sih pendapat Kiara.

Jujur aja nih, Kiara gak ngerti apa apa. Dia cuma denger kata gacoan, gacor, gantang, gantangan. Entah apalagi Kiara lupa. Pokonya kata kata itu sering Azka ucap saat mengobrol dengan Nata atau orang orang disana.

"Kesana yuk!"

Azka menuntun, yang dia pijak itu tanah lapangan. Yang mana tanahnya tidak rata. Apalagi ada beberapa tanah yang basah. Mungkin kemarin disini habis hujan.

"Hati hati, Yang"

Kiara berikan senyuman sebagai jawaban. Azka berjalan di depan dengan Kiara yang membuntuti di belakang. Tangan kirinya setia menuntun Kiara sedang satunya memegang payung.

"Es teh botolna dua, Bu." Pesan Azka untuk ibu warung.

Kiara di bawa ke warung tenda di pinggir lapangan. Azka sapukan tissue ke alas duduk mereka.

By the way, mereka sudah tidak bersama Nata. Mereka sudah berpisah saat Nata bertemu dengan temannya tadi. Lagi pula, Nata bilang dia bakalan pulang cari tebengan lain, sekalian ke bengkel buat ambil motornya. Ya, gak enak juga sih, kalau harus jadi nyamuk di antara Azka dan Kiara.

"Mangga, Cep" Ucap Ibu sang pemilik warung, menyodorkan dua botol teh manis kemasan dingin.

"Nuhun, Bu."

Azka memang asli keturunan suku jawa. Tapi dia tinggal di Kota yang penduduknya suku sunda. Jadi wajar kalau dia biasa berbahasa sunda. Tidak seperti Kiara yang canggung jika berbahasa sunda. Sebab di lingkungannya lebih sering menggunakan bahasa indonesia, ya paling banter bahasa betawi deh.

"Gimana? Capek gak?"

Kiara menggeleng kala mulutnya sedang menyedot cairan manis berwarna coklat pekat.

"Besok besok, kalau aku sama Mas Fajar ngontes kamu mau ikut?"

"Boleh."

Azka acak rambut di kepalanya.

"Ih, Mas apaan sih?!"

"Gemes. Kamu nurut bangat sih. Gak pernah nolak kalau aku ajak."

Beda sama Fisca yang gak pernah mau ikut kalau Azka ajak ke gantangan. Arena kontes burung. Pasti ada aja alesannya. Yang paling klasik sih, "Panas ah, capek. Lama."

Tapi bagi Kiara, buat dia hal seperti ini tuh simpel. Kalau hanya sekedar menemani dan mensupport, itu hal gampang. Meskipun Kiara gak ngerti apa yang jadi penilaian kontes ini meskipun Azka menjelaskan, "Iramanya, Yang. Misalkan nih, panjang pendek nadanya, terus kayak temponya jadi kaya harus harmonis gitu suaranya. Misalkan lagi nih ya, dia suaranya kenceng tapi gak ada nyanyiannya gitu, atau dia bisa nyanyi tapi suaranya gak lantang, nah itu plus minus juga."

Kiara angguk angguk saja pada jawaban Azka saat sebelumnya bertanya: "Emang yang di nilai tuh apanya sih, Mas?"

Padahal dia gak paham maksudnya Azka. Padahal menurutnya sama saja. Burung diatas sana semuanya berkicau dengan berisik. Suaranya juga sama. Gimana coba cara bedainnya? Gak ngerti.

"Pulang yuk." Ajak Azka.

"Loh kan belum selesai, Mas?"

"Emang kamu mau bantuin beres beres? Nunggu sampai selesai"

Ya gak gitu juga lah ya. Kiara pikir kan bakalan disini setidaknya sampai ketahuan juaranya siapa gitu. Kiara manyun lima senti. Yang Azka comot bibirnya. Sudah pasti Kiara keplak pahanya kencang. Biarkan saja dia mengaduh kesakitan. Habisnya, tangannya iseng bangat sih.

"Laper, Yang. Cari makan, yuk. Ada rekomendasi tempat makan apa nih yang kira kira enak?

"Ke Kuma Cafe, yuk!"

****

*** WHEN I'M WITH U ***Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang