47

29 4 0
                                    

Santai.

Kata itu di pakai saat kita punya banyak waktu luang. Tapi saat ini, Kiara rasa bukan waktunya untuk santai. Sudah pukul jam 7 malam soalnya. Tapi Azka jalankan motornya seperti keong. Lama bangat.

"Gimana, Yang?"

"Gimana apanya?"

"Mau tetep pulang?"

"Ya terus mau gimana, Mas? Mau nginep dimana?"

Sudah tidak punya tujuan soalnya. Pun jalanan yang mereka tempuh masih di daerah hutan. Kalau tahu gak jadi ke rumah saudara pacarnya Azka mah mending pulang dari siang, kan. Gak bakalan kemaleman gini jadinya. Mereka sengaja pulang sore karena jarak rumah Tantenya Alfia tuh emang gak jauh dari lokasi. Masih di sekitaran Lembang. Tapi ternyata eh ternyata.

"Nyari makan dulu deh, Yang. Lapar Mas." Daripada debat kan.

Azka sisikan motornya, setelah menemukan warung makan. Super sepi. Udara pun semakin dingin saja. Menusuk sampai ke tulang.

"Mau di bawah atau di atas, A?" Tawar ibu pemilik warung. Logatnya sangat khas orang Bandung.

Jadi warungnya itu punya tempat makan di atas juga. Konsepnya lesehan kalau di atas.

"Oh diatas bisa, Bu?"

"Muhun, A. Silahkan." Sembari menunjukkan tangganya.

Azka pun langsung menaiki anak tangga setelah memesan beberapa makanan. Yang Kiara ikuti.

"Hati hati, Yang." Sebab tangganya hanya terbuat dari papan kayu dan bambu. Kiara di tuntun dengan Azka yang lebih dulu berjalan.

Benar benar sepi. Bahkan tidak ada orang lain selain mereka berdua. Cahaya remang, serta dinginnya malam membuat Kiara membisu. Dia takut.

"Kenapa?" Lembut membisik suaranya. Azka bahkan menggenggam jemari Kiara yang mulai memerah.

"Serem"

"Siapa? Aku? Ganteng gini dibilang serem."

Masih saja. Sempat sempatnya bercanda. Kiara pukul saja bisepnya. Gak apa apa. Setidaknya Kiara bisa tersenyum. Gak gelisah kayak tadi.

Makanan pun tiba. Yang di pesan adalah makanan rumahan khas sunda. Seperti nasi tutug oncom, karedok, tidak lupa lalapan, ayam goreng dan sayur asemnya.

Mereka makan dengan khidmat, yang sekali kali Azka selingi dengan obrolan seperti .. "Yang, nilai pi itu berapa sih?"

Dengan serius menjawab, "3,14 atau 22/7"

"Hmm.. 22/7 ya."

Kiara mengangguk, tanpa memperdulikan. Dia lebih peduli pada ayam gorengnya sih.

"Terus tahu gak kenapa kalau 22/7 cuma bisa di kaliin sama kelipatan 7?"

"Ya sebenernya nilai itu kan sebagai nilai pendekatan dari 3,14, Mas. Jadi untuk mempermudahkan perhitungan, untuk jari jari atau diameter yang memiliki kelipatan 7 bisa di hitung dengan menggunalan nilai pi 22/7, gitu."

Azka garuk garuk kepala. Salah besar sepertinya dia membahas matematika dengan yang ahli matematika.

"Kenapa? Masih bingung?"

"Nggak gitu Yang konsepnya."

"Loh, emang kayak gitu. Kamu mau pembuktian nilai pi?"

Makin ruwet. Duh Azka gak perlu itu.

"Gini loh gini.." Azka mulai menjelaskan, "Harusnya aku tuh gombalin kamu, tapi kenapa kamu jawab dengan kasih penjelasan panjang lebar kayak gini sih?" Frustasi jadinya.

*** WHEN I'M WITH U ***Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang