¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤Next...
Seperginya Jimin, Erin hanya menyibukkan dirinya agar tidak terlalu mempedulikan semua itu. Tapi kenyataannya dia tidak bisa berhenti memikirkannya.Jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi dan kini Jimin belum kunjung kembali ke rumah. Semua hal seakan memutar dipikirannya membuat dirinya susah untuk hanya sekedar beristirahat.
Sedih? Kecewa? Tentu dia pasti merasakan itu. Tapi ada hal yang sangat membuat hatinya gusar sekarang. Kenyataan jika Jimin tidak menghargai posisinya sekarang membuatnya menangis sendirian di halaman belakang.
Ternyata selama ini sikapnya yang seakan acuh dan terkesan biasa saja itu adalah hanya sebuah cover yang menutupi dan menyimpan rapat isi sebenarnya dari apa yang ia rasakan.
Hatinya seolah hancur melihat fakta jika dua kisah cintanya tragis tak seperti dalam cerita dongeng. Dia berpisah dengan kisah pertamanya dan datang membangun kisah baru yang ia yakini akan menjadi kisah yang sempurna. Namun, nyatanya skenario yang Tuhan berikan amat menyedihkan hingga terus memaksanya menangis dalam diam.
Tidak ada yang lebih menyakitkan, disaat dia mulai membayangkan dunia dengan Jimin bersamanya dan melihat masa depan yang kini perlahan mulai memudar menjadi hitam.
Dengan siapa dia harus meminta pertanggungjawaban atas kebahagiaan yang seakan perlahan menghilang itu?
Jawabannya adalah tidak ada, orang lain tidak bertanggung jawab untuk kebahagiaan yang ia harapkan. Erin sadar dia tidak dapat menggantungkan kebahagiaan pada orang lain karena hanya dirinya sendiri yang mampu melakukannya.
Lelah menangis sedari tadi, Erin memutuskan untuk kembali ke kamar karena tubuhnya sudah terlalu banyak terkena udara malam.
Baru lima langkah dia menjauh dari sana, dia berpapasan dengan Jimin. Reflek dia menyembunyikan sampah tisu yang memang menjadi temannya menangis ke belakang tubuhnya.
"Erin-ah aku mencarimu, apa yang kamu lakukan di sana pagi-pagi buta seperti ini?"
"A-aku hanya terbangun sebentar dan mencari Roxie".
Bohong, bahkan dia belum tertidur sama sekali. Jimin pun menyadarinya, dia menunjuk Roxie yang tertidur pulas di rumah pribadinya.
"Dia tidur di sana, kamu habis menangis? Matamu bengkak sekali Erin-ah.."
"Ah h-hanya sakit, tanganku sakit,"
Tanpa menatap ke arah Jimin, Erin segera berlari kecil meninggalkan laki-laki itu menuju kamarnya dan segera masuk ke dalam kamar mandi.
Melihat tingkah laku aneh Erin, Jimin ikut segera menyusulnya masuk ke dalam kamar. Dia mengetuk berulang kali pintu kamar mandi yang telah Erin kunci dari dalam.
"Erin-ah.. Buka pintunya.."
"Oppa.. Bisakah hari ini kamu tidur di kamar lain? Maaf tapi sekarang aku ingin sendiri."
"Tidak, Erin-ah keluarlah, ayo kita bicara.."
"Apa? Kamu ingin bicara apa?"
"Buka dulu pintunya, aku harus berbicara dengan menatapmu.."
"Seperti ini saja, aku malu".
Ternyata itu alasan dia mengunci pintu kamar mandi, dia terlalu malu Jimin melihat matanya yang ia katai bengkak tadi. Erin juga seorang wanita biasa.
"Apa? Aku tidak mendengarmu, ayolah buka pintunya, nanti tenggorokan kita sakit jika terus berteriak seperti ini".
Erin membuka kunci pintunya, dengan segera Jimin meraih knop pintu dan membukanya. Dilihatnya Erin hanya diam berdiri di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
L I F E | {Park J•M} {Bae E•N}
FanfictionLIFE Sebuah kisah hidup dua insan yang terpaksa menyatu untuk mewujudkan sebuah janji yang bahkan tidak mereka pikirkan sebelumnya. Dengan siapa dia harus meminta pertanggungjawaban atas kebahagiaan yang seakan perlahan menghilang itu? Jawabannya...