Chapter 11

21K 2.3K 36
                                        

✯Happy Reading✯

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✯Happy Reading✯


"AYAH!"

Itu suara Zie, lelaki itu berseru lantang pada ayahnya, membentak.

Sedangkan Daver yang mendapat perlakuan tidak sopan dari putranya hanya menyorot anak itu dingin.

Ia berdiri dari duduknya, menghadap Daver, "Ayah tidak bisa melakukan itu. Kumohon jangan lakukan itu."

Daver menyeringai, "Kenapa aku tidak bisa? Aku yang berkuasa di sini."

"Tapi Ayah–"

"Mulai eksekusinya sekarang!" perintah Daver memotong perkataan Zie.

"Duduklah Zie, tidak ada yang bisa kau lakukan saat ini selain hanya menonton." Luna buka suara, memerintahkan putranya untuk duduk kembali.

Zie menurut, ia kembali mendudukkan dirinya di kursi. Rahang lelaki itu mengeras menahan amarah, kedua tangannya terkepal kuat hingga urat-urat di lengannya bertonjolan keluar.

Lycene yang menyaksikan seluruh adegan itu tersenyum. Terlihat kepuasan dari netra merahnya. Sesaat kemudian ia mengalihkan atensinya kembali pada kekasih Zie, Yena.

Gadis itu kini terlihat pucat pasi, kedua tangannya dirantai ke atas pada tiang besar di atas podium yang sudah disediakan. Membuat tubuh rampingnya tergantung di tiang.

Tidak cukup sampai disitu, para algojo kini menambahkan pemberat bola besi pada kedua kakinya. Memasangkan rantai besar itu pada kaki putih pucatnya.

Kini tubuh Yena terasa hendak terpisah menjadi dua. Bayangkan saja saat kau digantung pada tiang lalu di kedua kakimu diberi pemberat yang beratnya lebih dari dua kilo.

Air mata gadis itu jatuh, ia terisak. Rambut pirangnya tergerai menutupi sebagian wajahnya yang berantakan karena air mata.

Seorang algojo meraih pisau, benda tajam itu tampak berkilat terkena terpaan cahaya matahari lewat celah ventilasi aula. Tubuh Yena semakin gemetar hebat, ia takut. Apa yang akan dilakukan pria besar itu padanya sekarang.

"Lakukan!"

Begitu aba-aba itu keluar dari mulut Daver, sontak algojo tadi mulai mendekat ke arah Yena. Dengan kasar ia merobek pakaian pelayan yang gadis itu kenakan.

Sang empu berteriak panik, saat helai demi helai pakaiannya ditarik paksa dari tubuhnya oleh si algojo tadi. Yena berusaha memberontak, tapi sang algojo lebih kuat. Hanya dalam hitungan detik saja gadis itu sudah telanjang tanpa busana.

Sehelaipun, tidak ada kain yang menutupi tubuhnya.

Yena menggigit bibirnya kuat, air matanya berderai deras membasahi pipi lantas mengalir ke leher gadis itu.

Langsung saja si algojo beraksi menggunakan pisaunya. Pertama-tama ia menyayat lengan Yena. Teriakan kesakitannya menggema memenuhi aula.

Darah segar langsung mengalir turun dari luka sayatan panjangnya. Gadis itu masih menangis, merasakan perih yang luar biasa dari lukanya yang menganga lebar.

Lagi, si algojo kini menyayatkan pisaunya ke lengan satunya. Perlahan-lahan turun membuat luka sayatan lain ke leher, perut, paha dan kaki gadis itu. 

Teriakannya yang memilukan memenuhi aula. Semua orang hanya terdiam menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu. Sebagian dari para pelayan berpaling, tidak sanggup melihat siksaan mengerikan di hadapan mereka.

Orang-orang yang dekat dengan gadis itu menangis, hati mereka teriris saat rekan kerja mereka disiksa dengan cara paling keji dan tak berperikemanusiaan.

Algojo itu tidak berniat menghentikan aksinya barang sebentar pun. Setiap inchi dari kulit gadis itu ia iris dengan pisaunya. Terkecuali wajahnya, ia membiarkan wajah pucat gadis itu tanpa luka gores sedikitpun.

Darah segarnya keluar merembes hebat dari luka sayatan yang dibuat algojo. Mengalir ke bawah membuat kolam merah di bawah kakinya. Seluruh tubuh gadis itu kini sudah bersimbah darah.

Yena memejamkan matanya, bulir-bulir air matanya masih terus setia jatuh dari netra birunya yang indah. Ia sudah tidak kuat, seluruh tubuhnya lemas karena kehilangan banyak darah.

Melihat pemandangan yang sangat menyayat hati itu Zie semakin mengepalkan tangannya kuat. Mata lelaki itu tampak berair, seperti tengah menahan tangis.

Giginya bergemeletuk menahan amarah. Rahang lelaki itu sedari tadi terus mengeras. Matanya menatap tajam ke arah aljogo yang masih beraksi dengan pisaunya.

Zie, tidak tahan melihatnya. Melihat bagaimana Yena disiksa dengan keji seperti itu ia ingin murka dan membunuh semua orang yang berani menyentuh tubuh gadisnya.

Tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia tidak punya kuasa apapun di sini.

Hanya Daver selaku Duke yang memilikinya.

Zie ingin memberontak melawan ayahnya. Menyelamatkan pujaan hatinya. Tapi apa yang akan terjadi setelah itu? Ayahnya akan berbalik menghukumnya? Atau lebih buruknya lagi akan membunuhnya? Tidak ada yang tahu akan semua kemungkinan itu.

Jika Zie memberontak sekarang, posisi Duke yang sudah berada dalam genggamannya sudah pasti akan hilang dalam sekejap. Seperti debu.

Usahanya melawan hatinya untuk membunuh saudaranya akan sia-sia. Ia tidak mau hal itu terjadi. Apapun yang terjadi ia harus menjadi Duke. Apapun dan bagaimanapun caranya.

Semua hal yang menghalangi jalan lelaki itu akan ia singkirkan.

Pada akhirnya hingga Yena menghembuskan nafas terakhirnya, Zie hanya bisa diam membatu ditempat. Menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Yena meregang nyawa dengan cara paling mengenaskan.

Di tengah keheningan yang mencekam setelah Yena benar-benar tewas. Suara berat Daver menginterupsi, "Penggal kepalanya dan gantung di dinding kastil. Biarkan semua orang tahu dan melihat kuasa Terramort sesungguhnya."

***

Awan hitam bergumul di langit, sore jingga yang biasanya indah dan mengagumkan hilang tergantikan oleh mendung yang pekat. Tapi meskipun begitu langit masih enggan menurunkan hujan.

Di bawah langit yang suram itu berdirilah seorang lelaki. Zie, yang berdiri bisu mendongak menatap sesuatu di dinding kastil.

Matanya memerah dan berair seperti orang yang hendak menangis. Atau boleh kita katakan memang seperti itu kenyataannya. Tangannya terkepal kuat dengan rahang yang mengeras.

Kepala Yena tergantung tinggi di dinding kastil. Rambut pirangnya yang kusut dan terkena bercak darah sana-sini tampak berkibar mengikuti arah terpaan angin sore.

Mata gadis itu terpejam, jejak air mata jelas masih terlihat di wajahnya yang pucat hampir membiru. 

Sakit. Perih. Hati Zie serasa dihantam oleh palu besar yang tak kasat mata. Hancur lebur berantakan tak bersisa.

Separuh hatinya telah tiada. Pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.

Gadis yang paling ia cintai, pergi meninggalkannya. Lantas apa yang bisa Zie lakukan sekarang? Sudah terlambat baginya untuk menyesal.

Ditengah rasa sedih dan dukanya, terdengar suara halus namun lantang yang menginterupsi. Membuyarkan semua pikiran berkecamuk lelaki itu.

"Bagaimana rasanya, Zie? Kehilangan sosok seseorang yang paling berharga dan kau sayangi di dunia ini?"

*****

The Real VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang