Chapter 5

23.5K 2.1K 9
                                    

✯Happy Reading✯

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

✯Happy Reading✯


Lycene membalikkan badannya, gadis itu mengurungkan niatnya untuk turun dari tangga. Sebaliknya, ia melangkahkan kakinya kembali menaiki tangga. Menyusuri lorong di lantai tiga dan berhenti di depan pintu oak coklat.

Gadis itu mengetuk pintunya tiga kali, "Zic, ini aku. Boleh aku masuk?"

Hening. Tidak ada jawaban. Apa ia sudah tidur?

"Zic?!" panggil Lycene sekali lagi tapi tetap tidak ada jawaban. 

Mengerutkan keningnya berpikir, Lycene membuka handle pintu kamar Zic yang rupanya tidak terkunci. Gadis itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar yang gelap, hanya ada sedikit cahaya dari celah ventilasi di kamar lelaki itu.

Lycene menyipitkan matanya saat ia melihat siluet kepala seseorang yang duduk di lantai dekat ranjang. Tanpa banyak berpikir ia langsung menghampirinya, "Zic?!" 

Tampak si pelaku terkejut bukan main saat mendengar panggilan gadis itu barusan. Sang pemilik kamar yang tidak lain adalah seseorang yang sedari tadi Lycene cari itu kini menatap terkejut gadis itu dengan mata terbelalak.

"Lycene? Sejak kapan kau masuk?" tanya Zic heran dan bingung karena tidak menyadari kehadiran adiknya itu.

"Baru saja. Tadi aku sudah mengetuk pintu dan memanggilmu beberapa kali."

Lycene memiringkan kepalanya, "Tapi rupanya orang yang kupanggil tadi tuli karena makanan di hadapannya."

Zic yang tengah memakan kuenya berhenti mengunyah. Lelaki itu lantas bangkit dari duduknya, menyalakan lampu yang sengaja ia matikan.

Kamar yang gelap pun langsung terang seketika. Lycene bahkan sampai refleks memejamkan matanya saat lampu baru dinyalakan karena silau.

"Sudah kuduga, ternyata bau anyir itu dari tubuhmu." Zic memutar tubuh Lycene, mengamati cukup banyaknya bercak merah darah di baju, rambut dan wajah gadis itu.

"Apa yang kau lakukan sampai penampilanmu jadi seperti ini? Di tengah malam begini?" tanya lelaki itu menatap Lycene serius. 

"Ada pembunuh bayaran yang menyelinap masuk ke kamarku." 

Zic mengerutkan keningnya, "Dan …?"

Lycene mengedikkan bahunya, "Dan aku membunuhnya tentu saja."

Zic menghela nafas panjang, di pikirannya sudah terlintas siapa dalang yang mengirim pembunuh bayaran itu. Pasti ibunya, tidak lain dan tidak bukan. 

Sejak dulu Luna memang tidak menyukai Aria—ibu Lycene, tapi juga bukan berarti ia menyukai anaknya. Luna lebih membenci Lycene dari Aria. Ia sangat membencinya lebih dari apapun.

"Kau sebaiknya mandi dulu," saran Zic memutar tubuh gadis itu. Mendorongnya hingga ia masuk ke kamar mandi.

***

The Real VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang